20 Agustus 2008

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

Makalah ini untuk diseminarkan dalam mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum Islam pada Program Pascasarjana S3 Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat Oleh Fahmi. R


A. Pendahuluan.

Gagasan rekatualisasi hukum Islam ini mulai dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985. Pada waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras.
Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adsanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.
Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa' ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari pada hak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau menjadi menteri agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Quran tersebut. Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara faraidh, ahli waris tidak mau melaksanakannya, tetapi mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai dengan faraidh. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa yang enggan melaksanakan fatwa waris di Pengadilan Agama dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu telah membudaya pula penyimpangan tidak lansung dari ketentuan al-Quran tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini memang secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran di atas. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul? Apakah tindakan-tindakan itu tidak termasuk kategori helah atau main-main dengan agama?
Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir, kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan faktor-faktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidh.
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi hukum Islam.
Pengaruh ini juga terlihat dengan adanya pengahalalan homoseksual oleh seorang Profoser UIN Jakarta. Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam 'recognizes homosexuality' (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”
Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).
Makalah ini akan menjelaskan makna reaktualisasi hukum Islam dan perlukah rekatualisasi hukum Islam?. Pembahasan ini akan dilihat dari paradigma Islam.
B. Munawir dengan Reaktualisasi Ajaran Islam
Atas ide reaktualisasi ajaran Islam ini, Munawir dianggap sebagai Ibnu Amatillah., karena Ibnu Amatillah telah melontarkan ide ini jauh sebelum Munawir melontarkannya. Hal ini terjadi ketika BJ Boland, seorang sarjana Belanda yang dikenal simpati terhadap Islam, pernah terheran-heran ketika ia menemukan sebuah makalah pada tahun 1950 berjudul Analyse Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam. Penulis makalah itu bernama Ibnu Amatillah, seorang yang sama sekali tak dikenal karena tak pernah didengar dalam dunia tulis- menulis pada masa itu.
Makalah yang terbit di Semarang itu tentu saja mengherankan Boland karena menurut penelitiannya, yang kemudian ia tuangkan dalam karya klasiknya The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), karya-karya tentang hubungan Islam dan negara yang ditulis oleh orang Islam di Indonesia pada masa itu berujung pada satu kesimpulan, yakni pentingnya mendirikan negara Islam dan wajibnya kaum Muslim mendukung gagasan ini.
Tetapi, karya Ibnu Amatillah itu merupakan pengecualian yang aneh. Aneh karena kesimpulan makalah itu mempertanyakan gagasan "negara Islam" yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh kaum Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Masyumi. Lebih aneh lagi, gagasan itu datang dari seorang yang memiliki nama santri.
Perlu diketahui, pada tahun 1950-an sikap politik kaum Muslim di Indonesia secara umum bisa dibedakan antara mereka yang mendukung gagasan negara Islam (atau negara berbasis Islam) dan mereka yang menolak gagasan tersebut. Umumnya, kelompok pertama diwakili oleh- meminjam kategorisasi Clifford Geertz-kaum santri yang secara politik diwadahi oleh Partai Masyumi dan setelah tahun 1952 juga oleh Partai NU, sementara kelompok kedua diwakili oleh kaum abangan seperti Soekarno dan Soepomo.
Ibnu Amatillah jelas-jelas mengaku sebagai seorang santri, berasal dari latar belakang santri, dan menggunakan argumen-argumen agama yang sangat tangguh. Ini yang membuat Boland terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang yang tumbuh dan besar dalam lingkungan santri memiliki pandangan semacam itu?
Dalam karya klasiknya itu, Boland tidak mengungkapkan siapa gerangan Ibnu Amatillah. Nama ini tetaplah sebuah misteri yang tak diketahui orang. Bagi kebanyakan pembaca karya Boland itu, termasuk saya, Ibnu Amatillah tetap merupakan seseorang yang sama sekali anonim.
Kontekstualisasi Ajaran Islam yang ada di dalam rak buku saya. Buku tebal ini merupakan kumpulan tulisan untuk menyambut ulang tahun Pak Munawir yang ke-70 sekitar 9 tahun lalu.
Tiba-tiba, dalam sebuah tulisan di buku itu, saya menemukan informasi yang menguak misteri Ibnu Amatillah. Saya terkejut karena ternyata Ibnu Amatillah itu adalah nama samaran Pak Munawir, yang ketika menulis brosur setebal 80 halaman itu masih berusia sekitar 20 tahun.
Penggunaan nama samaran Ibnu Amatillah sangat bisa dipahami. Wacana pemikiran politik Islam pada tahun-tahun itu didominasi oleh satu pandangan yang sangat kuat di kalangan santri Muslim, yakni keinginan untuk mendirikan negara Islam. Merupakan tindakan "bunuh diri" jika dalam suasana panas seperti itu ada seorang anggota santri secara terang-terangan mengikrarkan penolakannya.
Respons-respons terhadap Ibnu Amatillah yang hampir seluruhnya bernada kecaman akhirnya hanya menembak angin. Para pendukung negara Islam seperti Muhammad Natsir dan Zainal Abidin Ahmad (keduanya tokoh penting Masyumi), yang sempat membaca tulisan Ibnu Amatillah itu, hanya bisa mengurut dada sambil menggerutu betapa telah "menyimpangnya" penulis ini.
Sekitar 30 tahun kemudian, Ibnu Amatillah muncul lagi. Kali ini dengan nama sebenarnya: Munawir Sjadzali. Sama seperti sebelumnya, ia kembali mengguncang wacana pemikiran Islam di Indonesia. Dengan gagasan "reaktualisasi" dan kritik terhadap negara Islam (yang ia uraikan dengan sangat baik dalam bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran), ia menjadi sasaran tembak dari kalangan Islam konservatif yang anti terhadap kemajuan.
Tentu saja, bukan karena pada tahun 1980-an itu Pak Munawir sudah menjadi seorang Menteri Agama sehingga dia tak perlu lagi takut menggulirkan ide kontroversialnya, tapi karena zaman memang sudah benar-benar berubah. Pada tahun 1950-an-lewat Ibnu Amatillah-ia benar- benar sendirian. Tapi 30 tahun kemudian, di belakangnya adalah orang- orang pintar yang semua berasal dari latar belakang santri. Sebut saja Nurcholish Madjid, M Syafii Maarif, M Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Semuanya adalah tokoh-tokoh Islam sekelas dengan M Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Muhammad Roem, dan Wahid Hasjim pada era tahun 1950-an.
Nurcholish Madjid sejak tahun 1970 secara konsisten menggempur sendi-sendi bangunan negara Islam, begitu juga M Syafii Maarif, yang meski merupakan seorang anak Masjumi, tapi sangat kritis terhadap "teologi politik" para pendahulunya itu yang dinilainya sangat formalistis, ideologistis, dan tidak substansialis. Pada tahun 1982 Amien Rais, lebih dari yang lainnya, secara tegas dan tak sembunyi-sembunyi melontarkan pernyataan "tidak ada negara Islam". Sementara Abdurrahman Wahid, setelah menolak negara Islam, mengikrarkan diri menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Zaman memang sudah benar-benar berubah. Para tokoh-tokoh santri yang pada tahun 1950-an mendukung gagasan negara Islam, 30 tahun kemudian, berubah 360 derajat menjadi para penolak gagasan itu. Yang menarik untuk dicatat di sini adalah bahwa sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia bergulir dari arah yang eksklusif dan monolitik ke arah yang inklusif dan pluralistik.
Yang lebih menarik lagi, sikap politik itu tak hanya sebatas wacana pemikiran yang bersifat teoretis, tapi juga terefleksikan dalam sikap politik kaum Muslim secara nyata. Di masa silam kaum Muslim yang berlatar belakang santri berafiliasi hanya kepada partai Islam, baik itu Masyumi, NU, maupun PSII. Tapi sekarang, orang-orang berlatar belakang santri bisa ditemukan di semua partai politik, termasuk partai-partai "sekuler" seperti PDI-P dan Partai Golkar.
Di tengah proses perubahan paradigma itu, Pak Munawir memainkan peranan yang sangat penting. Secara konsisten ia menolak gagasan negara berlandaskan agama (Islam). Seperti yang ia ungkapkan kemudian dalam salah satu tulisannya, Indonesia akan lebih baik dengan bentuk negara yang terbuka dan plural, dan bagi kaum Muslim sendiri, kepentingan-kepentingan mereka terbukti lebih banyak terpenuhi ketika partai-partai politik Islam justru absen dari negara (Munawir Sjadzali, MuslimsÆ Interests are Better Served in the Absence of Muslim Parties. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992).
Reaktualisasi al-Quran atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya berangkat dari asumsi, bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu diturunkan empat belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan, masih relevankah al-Quran atau ajaran Islam digunakan untuk saat ini? Mereka yang mengusung gagasan reaktualisasi memandang bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu sudah usang dan tidak relevan lagi, kecuali jika yang usang dan tidak relevan tersebut diaktualkan kembali sehingga cocok untuk kondisi kekinian dan kedisinian.
Selain reaktualisasi, istilah lain yang sering mereka gunakan adalah revitalisasi atau menyegarkan kembali pemahaman Islam. Semua itu intinya sama. Dengan kata lain, istilah Reaktualisasi al-Quran, Reaktualisasi atau Revitalisasi Ajaran Islam atau Menyegarkan Kembali Islam adalah istilah yang manis di bibir, tetapi hakikatnya busuk. Meminjam istilah hadis, ini seperti buah Raihanah, yang baunya harum semerbak, tetapi isinya busuk; siapapun yang memetiknya, pasti tertipu. Sebab, gagasan ini sebenarnya lahir bukan dari orang yang mengimani al-Quran dan ajaran Islam sebagai risalah yang layak diterapkan sepanjang zaman. Contoh kongkretnya, mereka menyerang hudûd, qishâsh dan sejumlah hukum dalam al-Quran (seperti potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, qishâsh untuk pembunuh, pemukulan suami kepada istri sebagai proses pendidikan (ta’dib), jihad, dan sistem pemerintahan Islam) yang jelas-jelas dinyatakan dalam al-Quran. Mereka mengatakan, ajaran al-Quran ini harus direaktualisasi dalam konteks kekinian sehingga tidak lagi bisa diambil secara harfiah.
Sebenarnya kata "reaktualisasi" telah dikenal cukup lama, paling tidak dikalangan ilmuwan. Tetapi ia menjadi sangat popular bahkan di kalangan para pelajar pemula sekalipun, setelah Pak Munawir melontarkan ide-idenya yang menghentakkan banyak pihak yang selama ini terlena. Sedemikian keras hentakkannya itu, sampai-sampai ada yang mengkafirkan pencetusnya, sebelum mendalami masalah yang diungkapkan.
B.1. REAKTUALISASI DAN IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB
Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.
Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).
Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.
Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.
Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.
Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).
Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.
Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, sebagai berikut:
Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.
Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.
Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.
Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):
`Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka."
'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."
Orang banyak: "Bermusyawarahlah"
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."
'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."
Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."
Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."
Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."
Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."
B.2. Argumentasi Munawir Sjadzali terhadap Reaktualisasi Hukum Islam.
Ide reaktualisasi hukum Islam yang dilontarkan oleh Munawir ini didasari juga dengan pemahamannya terhadap beberapa pendapat mufassir, di antaranya:
- Ibn Katsir; menyatatakan, "Sesungguhnya, menurut nalar tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah. (tafsir Ibn Katsir, juz 1 h. 151).
- Ahmad Mustafa al- Maraghi: Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir. ( Tafsir al- Maraghi, juz 1, h. 187).
- Muhammad Rasyid Ridla; Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan siatuasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkan hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu belakangan itu. (Tafsir al- Manar, juz 1, halaman 414).
- Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al- Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al- Aqsha ke Masjid al- Haram, mapun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang. (Tafsir Fi Zilali al- Quran, juz 1 h. 101-102).
Ahli hukum ke empat mazhab sepakat bahwa, hukum Islam terbagi kepada dua kategori, yaitu hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut mu'amalah duniawiah (kemasyarakatan). Dalam hukum pada kategori pertama tidak banyak kesempatan untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hukum kategori kedua lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolak ukur utama.
Mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan Izz al- Din Abd al- Salam (seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi'i), menyatakan bahwa semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang bermaksiat.
Ibnu al- Qayyim al- Jauziyah, (ulama fikih Hanafiyah), mengatakan, bahwa perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat. Ya'kub Ibn Ibrahim Ibn Habib al- Anshari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Yusuf, berpendirian bahwa nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash itu.
Formula 2:1 dalam kewarisan, Munawir menjelaskan bahwa diantara argument klasik yang dihadapkan kepada saya bahwa formula anak laki-laki berhak menerima dua kali bagian perempuan itu tercantum dalam ayat al- Quran, nash sharih dan yang tidak boleh diubah. Dalam menanggapi argument tersebut, dengan perasaan berat saya ingin mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Dalam al- Quran terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternative bagi kebutuhan biologis kaum pria disamping istri. Memang Nabi Muhammad SAW dahulu selalu menghimbau para pemilik budak untuk berlaku blebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tetapi yang jelas, sampai Nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun Islam belum secara tuntas mengahpuskan perbudakan.
Kita sekarang hidup pada akhir abad XX, dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan, dalam segala manifestasinya, sebagai musuh kemanusiaan. Apa kata dunia terhadap Islam kalau sekarang ini, berdasarkan empat ayat tersebut sebagai nash sharih dan dalil qhat'I, kita masih akan mempertahankan status quo sikap Islam terhadap perbudakan pada zaman Nabi itu. Lebih dari itu, kalau kita mempertahankan keabsahan ayat-ayat tersebut, tetap berdiri pada status quo Nabi dan tidak berani menyelesaikan proses yang telah dirintis oleh Nabi itu, kita tidak dapat ikut berbicara tentang hak asasi manusia, sebab hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup sebagai manusia merdeka, sedangkan menurut dalil qhat'I itu perbudakan masih dibenarkan oleh Islam.
Sebagai pembelaan atas kenyataan bahwa sampai Nabi wafat, Islam belum menghapus perbudakan secara tuntas, di antara kita ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena Nabi masih khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu kalau dengan tegas beliau mengikis perbudakan. Kalau pemikiran itu kita terima, maka kita dapat bertanya, kalau dalam hal yang demikian mendasar seperti perbudakan, Nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, apakah sebagai umat Muhammad kita seharusnya belajar dari kebijakan panutan agung kita itu?
C. BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MUNAWIR SJADZALI
Mengingat dalam berbagai kesempatan Munawir selalu menawarkan ide reaktualisasinya dengan memakai argument dari pendapat al- Thufi dengan konsep maslahahnya dan Abu Yusuf dengan pandangannya tentang tradisi (adat istiadat, al- 'Urf wal 'adah), maka penulis akan memulai kritikan terhadap pendapat Munawir ini dengan memulai pembahasan dengan mengkaji pendapat al- Thufi dan Abu Yusuf.
C.1. Al-Thufi dengan Teori Maslahah.
Munawir mengutip pendapat al- Thufi dengan menyatakan bahwa al- Mashlahah lebih didahulukan dari nash dan ijma'. Pandangan ini nampaknya bertitik tolak dari konsep maqashid al- Tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyari'atkan untuk diwujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.
Al- Thufi membangun pendapatnya atas empat asas, yakni :
A. استقلال العقول بادراك المصالح و المفا سد
Pendapat al- Thufi akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi dasar bangunannya yang pertama dalam piramida pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, ia membatasi kemandirian akal itu dalam hal mu'amalah dan adapt istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan pada petunjuk nash baik dan buruk pada kedua bidang itu.
B. المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص
Sebagai kelanjutan pendapatnya yang pertama di atas, ia berpendapat bahwa maslahah itu merupakan dalil syar'I mandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada akal semata. Bagi al- Thufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atas dasar adapt istiadat dan percobaan/ eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
C. مجال العمل بالمصلحة هو المعاملات والعادات دون العبادات
Bagi al- Thufi, mashlahah diambil sebagai dalil syar'I hanya dalam bidang mu'amalah (hubungan social) dan adapt istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah ibadat dan muqaddarat, maslahah tidak dapat dijadikan dalil. Dalam kedua hal ini nash dan ijma'lah yang harus diikuti. Pembedaan ini terjadi karena dimata al- Thufi ibadah merupakan hak yang khusus bagi Syari', karenanya tidak mungkin mengetahui hak-Nya, baik dalam jumlah, cara, waktu maupuntempatnya kecuali atas penjelasan resmi yang datang dari sisinya. Sedangkan mu'amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Atas dasar ini dalam hal ibadat Allah lebih mengetahui akan hak-Nya, dan karenanya kita wajib mengikuti nash dalam bidang ini. Mengenai mu'amalah, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya, mereka harus berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash.
D. المصلحة اقوى ادلة الشرع
Bagi al- Thufi, secara mutlak, maslahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Baginya, maslahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata ketika tidak datang nash dan ijma' disaat terjadi pertentangan antara keduanya. Yang perlu ditegaskan di sini, pengutamaan maslahah saat nash dan ijma' tersebut ia lakukan dengan jalan bayan dan takhsis; bukan dengan jalan mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas al-Quran dengan jalan bayan. Hal demikian ia lakukan karena dalam pandangannya, maslahah itu diambil dan bersumber dari sabda Nabi SAW :
حدثني يحيى عن مالك عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :لا ضرر ولا ضرار

"tidak memudaharatkan dan tidak dimudharatkan".
Pengutamaan dan mendahulukan mashlahah atas nash ini ditempuh baik nash itu qhat'I dalam sanad dan matannya ataupun zhanni keduanya.
Apabila dicermati penjelasan al- Thufi dengan keempat asas di atas, maka dapat penulis cermati bahwa al- Thufi sebenarnya bermain dalam tataran ushul fikih, ia mengandaikan terjadinya bentrokan antara nash atau ijma' di satu sisi dengan maslahah di sisi lain. Persoalannya, benarkah telah terjadi bentrokan yang ia maksudkan itu. Sampai saat ini al- Thufi belum mengungkapkan satu pun contoh pertentangan antara maslahah dengan nash atau ijma'.
Harus pula dipahami bahwa kecendrungan teologis yang dianut al- Thufi dan yang sepaham dengannya dan yang sepaham dengannya dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Menurutnya akal mempunyai kekuatan dan kemandirian dalam memilih dan menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa maslahah adalah dalil syari' yang mandiri yang terlepas dari nash. Dengan meminjam trend baru kajian ushul fikih yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, maka akan terasa suatu keanehan. Bagaimana mungkin al-Thufi yang dianggap sebagai pengikut mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, dalam ilmu kalam sejalan dengan mu'tazilah. Mungkin penulis keliru, tetapi setidak-tidaknya sangat terasa atmosfir keanehan tersebut.
Harus pula ditegaskan bahwa maslahah yang dimaksud al-Thufi bukanlah maslahah yang dimaksud oleh Imam Malik. Imam Malik menggunakan teori maslahah al- mursalah yang meskipun maslahah tersebut tidak terdapat dalam nash tertentu tetapi sejalan dengan semangat (ruh) nash secara keseluruhan. Ini berbeda dengan al- thufi yang melepaskan ketergantungan maslahah pada nash. Maslahah yang dimaksud oleh al- Thfi hanya berujung pada akal semata.
Al- Thufi memandang bahwa nash mengalami pertentangan. Pernyataan yang "berbahaya" ini perlu diluruskan, karena penulis yakin bahwa al- Thufi tidak bermaksud menyatakan bahwa ayat al- Quran itu saling bertentangan satu sama lainnya. Mungkin yang dimaksud oleh al- Thufi, bahwa ada ayat sepertinya bertentangan secara lahirnya tetapi pada hakikatnya tidak bertentangan.
Berbicara tentang maslahah, menurut penulis maslahah tersebut bersifat relatif, misalnya seseorang merampas suatu benda. Menurut hukum qhat'I, benda tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Jika hilang, ia wajib menggantinya. Persoalannya, berapakah ia harus mengganti benda yang hilang tersebut?. Sebagian ulama berpendapat, ia wajib menggantinya menurut harga pasar pada hari terjadi perampasan. Sebagian ulama yang lain berpendapat, ia wajib menggantinya menurut harga waktu ia menggantinya. Ulama lain berpendapat, diganti dengan harga tertinggi dari kedua harga tersebut.
Pada kasus ini semua ulama ingin mencari kemaslahatan untuk kedua belah pihak. Namun rasa maslahah sebagaimana rasa keadilan bergeser dan tergantung pada si pemilik rasa itu sendiri.
Hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut, apakah suatu nash yang berasal dari Allah dan untuk kita semua tidak mengandung nilai dan memuat rasa maslahah? Menurut Penulis setiap nash yang diturunkan oleh Allah pasti memuat nilai maslahah.
Demikian pula halnya dengan masalah kewarisan dalam reaktualisasi Munawir, bahwa 1;1 adalah maslahah. Pertanyaannya, apakah 2;1 tidak mengandung maslahah? Menurut penulis, hukum Allah tentang kewarisan 2;1 pasti untuk kemaslahatan manusia.
E. KESIMPULAN.
Reaktualisasi hukum Islam sangat diperlukan dalam rangka mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia.
"Reaktualisasi Munawir" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang dijadikan dasar "reaktualisasi Munawir" adalah kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan yang lepas dari nash, bukan kemaslahatan yang dimaksud oleh Imam Malik dengan konsep maslahah al- mursalah yang tidak terlepas dari nash.

Tidak ada komentar: