25 September 2008

DAFTAR NAMA PESERTA DIKLAT CAKIM 2008 DARI PA

daftar nama peserta diklat cakim

DIKLAT CAKIM 2008

surat pemanggilan diklat cakim 2008

JADWAL SIDANG BULAN OKTOBER 2008

Senin, 06 Oktober 2008
  • 174/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 170/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 35/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 29/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 2
Selasa, 07 Oktober 2008
  • 144/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 141/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 149/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 176/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 175/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 180/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 33/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 34/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 31/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 2
Rabu, 08 Oktober 2008
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 5
  • 173/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Waris sidang ke 2

Kamis, 09 Oktober 2008
  • 178/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 27/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengangkatan Anak sidang ke 3
  • 171/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 172/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
Senin, 13 Oktober 2008
  • 30/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 2
  • 163/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 179/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2

Selasa, 14 Oktober 2008


Rabu, 15 Oktober 2008


Kamis, 16 Oktober 2008


Senin, 20 Oktober 2008
  • 85/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 97/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3

Selasa, 21 Oktober 2008
  • 168/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3

Rabu, 23 Oktober 2008


Kamis, 24 Oktober 2008


Senin, 27 Oktober 2008
129/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Selasa, 28 Oktober 2008


Rabu, 29 Oktober 2008


Kamis, 30 Oktober 2008


Nb: Jadwal sidang lainnya menyusul.

08 September 2008

RUKUN-RUKUN DI DALAM MUDHARABAH

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga rukun.

Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib)
Kedua     :
Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Ketiga     :
Pelafalan perjanjian

Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.

RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]

Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram. [4]

A. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
  1. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya adalah Ijma’. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rajih. [6]
  2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
  3. Modal diserahkan harus tertentu
  4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.

Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.

B. Jenis Usaha
  1. Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
  2. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
  3. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [9]
  4. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya. [10]
  5. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, [11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai criteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya. [12]

C. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
  1. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. [13] Seandainya dikatakan “Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri. [14]
  2. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah. [15]
  3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.

          Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.
  • Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. [17]Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni.Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase. [18]
  • Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor). [18]Ibnu Qudamah menyatakan, di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika akan tidak dsiebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra’i (Hanafiyah). [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.
  • Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]
  • Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para ulama.

      Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal
  1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
  2. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  3. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

          Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka           diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]

  • Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.

          Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa           Dua Macam.
  1. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
  2. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]

RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul

Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25]

Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga terbangunlah mua’amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak lain. Wallahu a’lam



__________
Foote Note
  1. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh Muhammad Najib al-muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu al-Muhadzab (15/148).
  2. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
  3. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
  4. Lihat kitab Ma’la Yasa’u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
  5. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op, cit (15/143)
  6. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti, op.cit (4/258)
  7. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit (15/144)
  8. Takmilah al-Mjamu, op.cit. (15/145)
  9. Ibid (15/146-147)
  10. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
  11. Al-Mughni,karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
  12. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
  13. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
  14. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
  15. Inid (15/159)
  16. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit. (4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
  17. Masalah kerugian lihat artikel “Membagi Kerugian Dalam Mudharabah”.
  18. Al-Mughn, op.cit. (7/138)
  19. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
  20. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
  21. Ibid (7/165)
  22. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
  23. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
  24. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
  25. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169

(Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M, dikutip oleh almanhaj.or.id)

KARATERISTIK TRANSAKSI PERBANKAN SYARIAH

KARAKTERISTIK TRANSAKSI PERBANKAN SYARIAH DIRINGKAS DARI PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO.59

oleh: KarimSyah

Baca Selengkapnya

07 September 2008

BIODATA PEGAWAI PENGADILAN AGAMA KOTO BARU

KETUA

Nama :
Drs. H. Mhd. Nasir. S, M.HI

Tempat/Tanggal Lahir:
Magek/10 September 1956

Pangkat/Gol:
IVa/Pembina

Pendidikan terakhir:
Pasca Sarjana Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat



WAKIL KETUA



Nama:
Drs. H. Khairul, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Sungai Landir/25 Desember 1955

Pangkat/Golongan:
IVb/Pembina Tk I

Pendidikan terakhir:
  • S1 IAIN Fakultas Syari'ah
  • S1 UMMY Solok Jurusan Hukum Perdata

HAKIM



Nama:
Drs. Asril

Tempat/Tanggal Lahir:
Lundang/02 Februari 1965

Pangkat/Golongan:
IIId/Penata Tingkat I

Pendidikan Terakhir:
  • S1 IAIN Fakultas Syariah


Nama:
Tarmizal Tamin, SH, M.HI

Tempat/Tanggal Lahir:
Tabek Batusangkar/05 Desember 1954

Pangkat/Golongan:
IVa/Pembina

Pendidikan Terakhir:
S2 Univ. Muhamadiyah Sumatera Barat Jurusan Hukum Perdata


PANITERA/SEKRETARIS



Nama:
Dra. Hamidayati

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/08 Oktober 1955

Pangkat/Golongan:
IIId/Penata Tingkat I

Pendidikan Terakhir:
S1 IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syari'ah Jurusan Qadha


WAKIL PANITERA



Nama:
Nailil Hasni, B.A

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/29 April 1953

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
D3 IAIN Sumatera Barat Fakultas Syari'ah


WAKIL SEKRETARIS



Nama:
Refti Desfita, S.Ag, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/01 April 1971

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
  • S1 IAIN Imam Bonjol Fakultas Tarbiyah
  • S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Solok Jurusan Hukum

PANITERA MUDA PERMOHONAN



Nama:
Iskandar D, B.A

Tempat/Tanggal Lahir:
Sijunjung/29 Desember 1952

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
D3 IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Tarbiyah


PANITERA MUDA HUKUM



Nama:
Darmaini Satar, B.A

Tempat/Tanggal Lahir:
Lubuak Jantan, Lintau Buo/17 Mai 1957

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
D3 IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syari'ah


PANITERA MUDA GUGATAN



Nama:
Yusnidar, BA

Tempat/Tanggal Lahir:
Bukittinggi/07 April 1955

Pangkat/Golongan:
IIIb/Penata Muda Tk I 

Pendidikan Terakhir:
D3 IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syariah


KEPALA URUSAN KEPEGAWAIAN



Nama:
Endrison, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Tanjung Balik/ 13 September 1964

Pangkat/Golongan:
IIIb/Penata Muda Tk I

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Fakultas Hukum


KEPALA URUSAN UMUM



Nama:
Roza Elfina

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/20 November 1973

Pangkat/Golongan:
IId/Pengatur Tk I

Pendidikan Terakhir:
Madrasah Aliyah Negri


PANITERA PENGGANTI



Nama:
Afdhal, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Gurun Laweh/02 Mai 1962

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Fakultas Hukum




Nama:
Ermansyah, SH, M.Hum

Tempat/Tanggal Lahir:
Padang/29 Desember 1968

Pangkat/Golongan:
IIId/Penata Tk I

Pendidikan Terakhir:
S2 Univ. Ekasakti Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi
Tata Negara.




Nama:
H. Fahmi Ridwan, S.Ag, M.HI

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/13 Desember 1973

Pangkat/Golongan:
IIIb/Penata Muda Tingkat I

Pendidikan Terakhir:
S2 Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat Jurusan Syari'ah




Nama:
Muhammad Shalahudin Hamdayani, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/10 Desember 1970

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Fakultas Hukum




Nama:
Dra. Nila Novita, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/05 November 1967

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
  • S1 IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syari'ah
  • S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Fakultas Hukum



Nama:
Nurbani, B.A

Tempat/Tanggal Lahir:
Siulak Gedang/02 Juli 1960

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
D3 IAIN Imam Bonjol Padang



Nama:
Rahmat Hudaya, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Padang/26 November 1976

Pangkat/Golongan:
IIIa/Penata Muda

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Ekasakti Fakultas Hukum



Nama:
Cumrizal, SH

Tempat/Tanggal Lahir:
Alahan Panjang/03 Maret 1961

Pangkat/Golongan:
IIIc/Penata

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Mahaputra Muhammad Yamin Fakultas Hukum


S T A F



Nama:
Oga Pertissa, SE

Tempat/Tanggal Lahir:
Solok/20 April 1981

Pangkat/Golongan:
IIIa/Penata Muda

Pendidikan Terakhir:
S1 Univ. Bung Hatta Padang Jurusan Akuntansi



Nama:
Yengkie Hirawan, S.Ag, M.HI

Tempat/Tanggal Lahir:
Rokan/08 Februari 1977

Pangkat/Golongan:
IIIa/Penata Muda

Pendidikan Terakhir:
S2 IAIN Imam Bonjol Fakultas Syari'ah

28 Agustus 2008

PROSEDUR BERPERKARA PRODEO PADA PENGADILAN TINGKAT BANDING

  • Permohonan berperkara secara prodeo pada tingkat banding, diajukan secara lisan atau tertulis kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan atau diberitahukan (Pasal 242 ayat (1) HIR/Pasal 278 ayat (1) R.Bg./Pasal 12 UU No. 20 Tahun 1947.

  • Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama memanggil kedua belah pihak yang berperkara untuk memeriksa permohonan berperkara secara prodeo (Pasal 242 ayat (3) HIR/ Pasal 278 ayat (1) R.Bg.). Mekanisme penunjukan majelis hakim (PMH), penetapan hari sidang, proses pemanggilan dan biayanya serta pembukuannya mengacu pada ketentuan dalam Prosedur Berperkara Secara Prodeo Dalam Tingkat Pertama.

  • Berita Acara hasil pemeriksaan permohonan berperkara secara prodeo dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar'iyyah Propinsi bersama bundel A dan salinan putusan (Pasal 244 HIR/Pasal 280 R.Bg.).

  • Pengiriman berita acara tersebut dalam tenggang waktu selambat lambatnya 7 hari setelah pemeriksaan selesai (Pasal 13 UU No. 20/1947).Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar'iyyah Propinsi memeriksa permohonan tersebut dan menjatuhkan putusan dalam bentuk penetapan dan penetapan tersebut dikirimkan bersama bundel A ke Pengadilan Agama (Pasal 245 ayat (1) HIR/Pasal 281 ayat (1) dan (2) R.Bg./Pasal 14 UU No. 20/1947).

  • Pengadilan Tinggi Agama/M.Sy. Propinsi karena jabatannya dapat menolak permohonan untuk berperkara secara prodeo (Pasal 245 ayat (1) HIR/Pasal 281 ayat (1) R.Bg.). Apabila permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan, maka pemohon dapat mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah amar penetapan diberitahukan kepada pemohon dengan membayar biaya banding.

  • Apabila permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, maka berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dikirimkan oleh Pengadilan Agama/M.Sy. ke Pengadilan Tinggi Agama/M.Sy. Propinsi untuk dilanjutkan ke proses pemeriksaan pokok perkara.

  • Apabila permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, maka pemohon dibebaskan dari semua biaya perkara Banding dan biaya perkara dibebankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama.

  • Mekanisme pengeluaran dari DIPA, penyerahan ke Kasir, pengelolaan penerimaan/pengeluaran di buku keuangan perkara dan peng-SPJ-an oleh Bendaharawan Rutin mengacu pada mekanisme huruf q dan r


PROSEDUR BERPERKARA PRODEO DI PENGADILAN TINGKAT PERTAMA

  • Bagi Penggugat/Pemohon yang mengajukan permohonan berperkara secara prodeo diajukan bersamasama pada saat mengajukan surat gugatan/permohonan atau pada saat mengajukan gugatan/permohonan lisan. Bagi Tergugat/Termohon dapat diajukan pada saat memasukkan jawaban gugatan /permohonan Penggugat/Pemohon ( Vide : Pasal 237 dan 238 ayat (1) dan ayat(2) HIR/Pasal 273 dan 274 ayat (1) dan ayat (2) R.Bg.

  • Penggugat/Pemohon harus menyebutkan alasan untuk berperkara secara prodeo dalam surat gugatan/permohonan yang diajukan.

  • Dalam petitum gugatan/permohonan dicatumkan kalimat antara lain :
  1. Memberi izin kepada Penggugat/Pemohon untuk berperkara secara Prodeo.
  2. Membebaskan Penggugat / Pemohon dari segala biaya perkara.
  • Penggugat /Pemohon mengajukan gugatan atau permohonannya ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama mengeluarkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), sebesar Rp. 0,00 (tata cara pengajuan gugatan/permohonan sesuai tata cara yang diatur dalam prosedur penerimaan perkara dalam Pola Bindalmin)

  • Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis Hakim untuk menangani perkara tersebut (PMH). Majelis Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang (PHS) dan memerintahkan Jurusita untuk memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/ Termohon, dengan biaya pemanggilan pertama kali dibebankan anggaran Pengadilan kepada Panitera /Sekretaris / Kuasa Pengguna Anggaran dengan instrumen khusus.

  • Setelah menerima perintah dari Majelis Hakim, Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan Bendaharawan Rutin untuk mengeluarkan biaya panggilan tersebut dari mata anggaran yang telah disediakan dalam DIPA dengan menggunakan instrumen khusus dan instrumen tersebut dijadikan bukti untuk di-SPJ-kan sebagai pengeluaran.

  • Bendaharawan Rutin menghubungi Petugas Meja Satu untuk meminta taksiran biaya panggilan tersebut. Setelah ditaksir Petugas Meja Satu yang kemudian dituangkan dalam SKUM ( rangkap tiga) lalu SKUM tersebut diserahkan kepada Bendaharawan Rutin untuk diproses lebih lanjut.

  • Setelah menerima SKUM dari Petugas Meja Satu, kemudian Bendaharawan rutin menyerahkan SKUM disertai panjar biayanya kepada Kasir. Setelah diproses, kemudian satu rangkap SKUM (warna putih) diserahkan oleh Kasir kepada Bendaharawan rutin Sebagai bukti pengeluaran untuk di-SPJ-kan. Bila Tergugat/Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama lain maka biaya panggilan untuk Tergugat/Termohon tetap dibebankan kepada Pengadilan Agama di mana perkara diajukan.

  • Petugas Buku Induk Keuangan Perkara, petugas/pemegang Buku Jurnal Keuangan Perkara dan petugas/pemegang Buku Kas Pembantu mencatat penerimaan tersebut sebagai Panjar Biaya dalam buku-buku Keuangan Perkara dimaksud. Kemudian, setelah biaya panggilan tersebut digunakan untuk memanggil para pihak, petugas/pemegang buku-buku keuangan perkara mencatat pula pengeluaran dalam buku-buku keuangan perkara dimaksud.

  • Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Majelis Hakim sebelum memeriksa pokok perkara, terlebih dahulu memeriksa permohonan berperkara secara prodeo. Pihak lawan dalam persidangan tersebut dapat menyangkal permohonan tersebut, baik dengan menyatakan bahwa permohonan tersebut.
  • Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan, menjatuhkan putusan dengan Putusan Sela (Vide : Pasal 239 ayat (1) HIR/Pasal 275 ayat (1) R.Bg.). Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.

  • Dengan salah satu alasan sebagaimana dimaksud Pasal 239 ayat (2) HIR/275 ayat (2) R.Bg., Majelis Hakim dapat menolak permohonan tersebut (Vide : Pasal 239 ayat (3) HIR/Pasal 275 ayat (3) R.Bg.).

  • Apabila permohonan prodeo tidak dikabulkan, maka dalam Putusan Selanya Majelis Hakim memerintahkan Penggugat/Pemohon untuk membayar panjar biaya perkara dengan jumlah yang akan ditaksir kemudian oleh petugas Meja Satu. Jeda waktu pembayaran diberikan selama 14 (empat belas) hari sejak dijatuhkannya Putusan Sela.

  • Apabila Penggugat/Pemohon tidak membayar panjar biaya perkara sampai batas waktu yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan, maka gugatan/permohonan Penggugat/ Pemohon dicoret dari daftar perkara.

  • Apabila permohonan prodeo dikabulkan, maka Majelis Hakim menjatuhkan Putusan Sela. Dengan dikabulkannya permohonan prodeo tersebut, Penggugat/Pemohon dibebaskan dari semua biaya perkara, dan selanjutnya biaya perkara dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama dengan mekanisme sebagai:
  1. Salinan amar Putusan Sela diserahkan Majelis Hakim kepada Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran guna pembayaran biaya perkara oleh Negara melalui mata anggaran dalam DIPA yang telah ditentukan.
  2. Panitera/ Sekretaris menyerahkan salinan amar putusan sela tersebut kepada Bendaharawan Rutin dengan perintah agar mengeluarkan sejumlah uang yang besarnya akan ditaksir kemudian oleh Petugas Meja Satu. Perintah Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran dituangkan dalam instrumen khusus.
  3. Bendaharawan Rutin menghubungi Petugas Meja Satu agar menaksir panjar biaya perkara. Setelah Petugas Meja Satu menaksir panjar biaya yang dituangkan dalam SKUM, lalu SKUM tersebut diserahkan kepada Bendaharwan Rutin.
  4. Setelah Bendaharawan Rutin menerima SKUM dari Petugas Meja Satu, lalu ia membayar panjar biaya kepada Kasir sejumlah yang tertera dalam SKUM. Setelah Kasir menerima SKUM dan pembayaran panjar biaya perkara dari Bendaharawan Rutin lalu memprosesnya sesuai tugas Kasir. Setelah diproses, kemudian Kasir menyerahkan SKUM warna putih kepada Bendaharawan Rutin dan SKUM warna putih inilah yang kemudian oleh Bendaharawan Rutin difungsikan sebagai bukti pengeluaran untuk peng-SPJ-an DIPA oleh Bendaharawan Rutin.
  5. Petugas Buku-buku Keuangan Perkara mencatat penerimaan tersebut dalam buku-buku tersebut sebagai Tambahan Panjar. Demikian juga pencatatan pengeluaran biaya dalam buku-buku tersebut dilakukan secara tertib.
  6. Apabila setelah putusan akhir dijatuhkan oleh Majelis Hakim dan ternyata ada kelebihan biaya perkara, Kasir mengembalikan kelebihan biaya perkara tersebut kepada Bendaharawan Rutin dengan kuitansi pengembalian, dan selanjutnya pengembalian sisa panjar tersebut oleh Bendaharawan Rutin disetorkan ke Kas Negara.
  7. Apabila sebelum perkara diputus, ternyata ada kekurangan biaya perkara, maka Majelis Hakim
  8. memerintahkan kepada Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengeluarkan biaya perkara tambahan dengan menggunakan instrumen khusus. Mekanisme selanjutnya mengacu pada ketentuan angka 2), 3) dan 4) di atas serta ketentuan yang berlaku dalam permintaan tambahan panjar biaya perkara kepada pihak berperkara.
  9. Dalam hal Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon bertempat tinggal di luar wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan maka untuk biaya panggilan tetap dibebankan kepada DIPA Pengadilan Agama di mana perkara diajukan.
  • Apabila yang mengajukan permohonan berperkara secara prodeo adalah Tergugat, maka prosedurnya adalah sebagai berikut :
  1. Permohonan diajukan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat.
  2. Apabila permohonan beracara secara prodeo tersebut dikabulkan dan Tergugat dalam perkara tersebut dikalahkan, maka Tergugat dibebaskan dari membayar biaya perkara.
  3. Biaya perkara dibebankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama dengan cara Majelis Hakim menyerahkan salinan amar putusan kepada Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
  4. Mekanisme selanjutnya hampir sama dengan mekanisme yang telah diuraikan sebelumnya.
  5. Setelah Kasir menerima biaya perkara dari Kuasa Pengguna Anggaran melalui Bendaharawan Rutin, Kasir mengembalikan uang yang disetor Penggugat kepada Penggugat dan menerimakan uang perkara yang disetor Kuasa Pengguna Anggaran sebagai gantinya.

SYARAT - SYARAT PERKARA PRODEO

  1. Mengajukan permohonan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) tertulis atau lisan.
  2. Permohonan tersebut dilampiri Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa / Lurah yang diketahui oleh Camat.
  3. Surat Keterangan Tidak Mampu tersebut dikeluarkan oleh Kepala Desa / Lurah yang menyatakan bahwa benar
  4. pemohon tidak mampu membayar biaya perkara dan atau bukti lainnya tentang ketidakmampuannya.


SURAT EDARAN TENTANG SIDANG KELILING DAN PERKARA PRODEO

Sehubungan dengan program peningkatan pelayanan di lingkungan peradilan agama dan telah berakhirnya pelatihan “Client Service Improvement” di Australia, pada tanggal 27 Mei 2008, yang memfokuskan pada “Peningkatan Pelayanan Terhadap Pencari Keadilan dan Pengembangan Teknologi Informasi untuk Menunjang Pelaksanaan Tugas Pokok”, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

Baca Selengkapnya

27 Agustus 2008

PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (PK) :

  1. Mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah
  2. Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan/putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti adanya kebohongan/bukti baru, dan bila alasan Pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan dibawah sumpah dan disyahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004)
  3. Membayar biaya perkara PK (Pasal 70 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2004, Pasal 89 dan 90 UU No. 7 Tahun 1989).
  4. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari.
  5. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK
  6. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke MA selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  7. Panitera MA menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah.
  8. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menyampaikan salinan putusan PK kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  9. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :
  1. Permohonan PK diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara PK
  2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon PK bahwa perkaranya telah diregistrasi
  3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara PK.
  4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinaator (Askor) kepada panitera pengganti yang membantu menangani perkara PK tersebut.
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1, 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
  6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
  7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan PK

PERKARA KASASI

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Kasasi:

  1. Mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah penetapan/putusan pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  2. Membayar biaya perkara kasasi (Pasal 46 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  3. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan, selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
  4. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonannya didaftar (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  5. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  6. Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi (Pasal 47 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  7. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memorikasasi dan jawaban memori kasasi (Pasal 48 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  8. Panitera Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk selanjutnya disampaikan kepada para pihak.
  9. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil kedua belah pihak.
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari.
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :
  1. Permohonan kasasi diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara kasasi.
  2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon kasasi bahwa perkaranya telah diregistrasi.
  3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara kasasi.
  4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada panitera pengganti yang menangani perkara tersebut.
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1, 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
  6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
  7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan kasasi.

BERPERKARA PADA TINGKAT BANDING

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah dalam tenggang waktu :
  • 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan;
  • 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tingkat pertama. (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947).

Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989).

Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947)

Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947)

Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada pihak lawan, panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di kantor pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947).

Berkas perkara banding dikirim ke pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima perkara banding.

Salinan putusan banding dikirim oleh pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk disampaikan kepada para pihak.

Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menyampaikan salinan putusan kepada para pihak.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon.
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA :

  1. Berkas perkara banding dicatat dan diberi nomor register;
  2. Ketua pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi membuat Penetapan Majelis Hakim yang akan memeriksa berkas;
  3. Panitera menetapkan panitera pengganti yang akan membantu majelis;
  4. Panitera pengganti menyerahkan berkas kepada ketua majelis;
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Tinggi;
  6. Majelis Hakim Tinggi memutus perkara banding;
  7. Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui pengadilan tingkat pertama.

26 Agustus 2008

PROSES BERPEKARA GUGATAN LAINNYA PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat :

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg)

Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah :
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat ;
  • Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat;
  • Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa pengadilan agama/mahkamah syar’iah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang dipilih oleh Penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
  • Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
  • Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
  • Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :

Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah.


Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.

Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
  • Apabila tidak berhasil,maka hakim mewajibkan kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 HIR, 158 R.Bg).

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
  • Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR,196 R.Bg).

Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tersebut.

PROSES BERPEKARA CERAI GUGAT PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada:
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah :
  • Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
  • Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
  • Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).

Permohonan tersebut memuat :
  • Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).

Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah.

Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan


Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
  • Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

PROSES BERPEKARA CERAI TALAK PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:

Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada:
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah :
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).

Permohonan tersebut memuat :
  • Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).

Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.

Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.

Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
  • Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut;
  • Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut;
  • Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.

Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
  • Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).

Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

REFERENSI BAGI HAKIM DALAM PENYELESAIAN MASALAH KDRT

Baca Selengkapnya

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Baca Selengkapnya

Jadwal Sidang September 2008

Senin, 01 September 2008

Selasa, 02 September 2008

  • 149/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 21/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 6
  • 158/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 22/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Wali Adal sidang ke 3
  • 77/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang 2
  • 167/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 168/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Rabu, 03 September 2008
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2

Kamis, 04 September 2008
  • 155/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 164/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1

Senin, 08 September 2008
  • 74/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 157/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 156/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 170/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 23/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 120/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 139/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
  • 100/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 121/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
Selasa, 09 September 2008
  • 133/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 7
  • 150/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 152/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 154/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 165/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 166/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 26/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 162/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 24/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 25/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Rabu, 10 September 2008
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3

Kamis, 11 September 2008 
  • 163/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 171/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 164/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 172/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 27/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengangkatan Anak sidang ke 1

Senin, 15 September 2008
  • 174/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 74/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3 (gugur)
  • 156/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4

Selasa, 16 September 2008
  • 133/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 8
  • 162/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 167/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 168/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 131/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 176/PDt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 143/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
  • 28/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 175/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Rabu, 17 September 2008


Kamis, 18 September 2008
  • 178/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 27/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengangkatan Anak sidang ke 2

Senin, 22 September 2008
  • 82/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 170/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 29/PDt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 5

Selasa, 23 September 2008
  • 154/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 165/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 31/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Rabu, 24 September 2008
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 173/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Kamis, 25 September 2008
  • 163/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 171/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 172/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 179/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 29/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Senin, 29 September 2008


Selasa, 30 September 2008



Nb: Jadwal sidang lainnya menyusul

24 Agustus 2008

Panggilan ghaib An.M.Rustimal Aulia.A Bin Insinir

Panggilan berasal dari Pengadilan Agama Koto Baru Solok ditujukan kepada saudara M.Rustimal Aulia.A Bin Insinir, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta tempat tinggal terakir di Korong Garubuak Jorong Panyalai Kenagarian Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok alamat sekarang tidak diketahui di dalam wilayah republik Indonesia, sebagai Tergugat,

Baca selengkapnya

22 Agustus 2008

RUU HUKUM ACARA PERDATA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG HUKUM ACARA PERDATA

Baca Selengkapnya

PERMA No. 01 TAHUN 2008

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PERADILAN

Baca Selengkapnya

UU No.21 TAHUN 2008

UNDANG UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH

Baca Selengkapnya

UU No. 41 TAHUN 2004

UNDANG UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

Baca Selengkapnya

UU No. 1 TAHUN 1974

UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Baca Selengkapnya

PP No. 9 TAHUN 1975

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Baca Selengkapnya

UU No. 3 TAHUN 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Baca Selengkapnya

21 Agustus 2008

UU No. 7 TAHUN 1989

UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Baca Selengkapnya

UU No. 5 TAHUN 2005

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Baca Selengkapnya

UU No. 4 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Baca selengkapnya

PP NO. 53 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DI BAWAHNYA 

20 Agustus 2008

LARANGAN MAKAN DAN MINUM DI TEMPAT KEMATIAN

MAKALAH SYARH HADITS AHKAM MAUDHU’I
TENTANG MAKAN DAN MINUM DI RUMAH KELUARGA YANG DITIMPA KEMATIAN
oleh : H. FAHMI. R, MHI

A. PENDAHULUAN

Rasulullah SAW menganjurkan agar meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian. Anjuran tersebut di antaranya,

- حدثنا هشام بن عمار ومحمد بن الصباح . قالا حدثنا سفيان بن عيينة عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال: - لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( اصنعوا لآل جعفر طعاما . فقد أتاهم ما يشغلهم أو أمر يشغله . قال الشيخ الألباني : حسن
- حدثنا أبو بكر بن يعقوب بن إبراهيم البزاز ثنا بشر بن مطر ثنا سفيان عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما شغلهم أو أمر شغلهم

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa mengantarkan makanan untuk keluarga yang ditimpa musibah kematian sangat dianjurkan. Anjuran ini disebabkan keluarga yang ditimpa kematian sedang berduka sehingga sulit bagi mereka untuk menyiapkan makanan untuk anggota keluarganya.
Tetapi dalam praktek di tengah-tengah masyarakat muslim sering terjadi kebalikan dari anjuran Nabi di atas. Jika Nabi menganjurkan untuk meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah, maka praktek sebagian masyarakat justru memberatkan keluarga yang ditimpa musibah dengan menyiapkan makanan dan minuman untuk orang yang datang ketika takziah dan pada waktu-waktu lain.
Makalah yang ringkas ini membahas tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan anjuran untuk meringankan beban keluarga si mayat dan larangan memberati keluarga si mayat, di antaranya dengan mengadakan serangkaian acara yang tidak dianjurkan oleh Rasulullah SAW, serta data-data tentang tradisi-tradisi kematian di beberapa wilayah di Sumatera Barat yang penulis peroleh melalui wawancara. Makalah ini diakhiri dengan Analisa penulis dan kesimpulan.

B. Hadits-hadits Yang Berhubungan Dengan Anjuran Rasulullah untuk         Meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian.

Anjuran melakukan ta’ziyah.
-حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة . حدثنا خالد بن مخلد . حدثني قيس أبو عمارة مولى الأنصار قال سمعت عبد الله بن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم يحدث عن أبيه عن جده : - عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ( ما من مؤمن يعزي أخاه بمصيبتة إلا كساه الله سبحانه من حلل الكرامة يوم القيامة )في الزوائد في إسناده قيس أبو عمارة ذكره ابن حبان في الثقات . وقال الذهبي في الكاشف ثقة . وقال البخاري فيه نظر . وباقي رجاله على شرط مسلم

-حدثنا مالك بن إسماعيل حدثنا إسرائيل عن عاصم عن أبي عثمان عن أسامة قال: كنت عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ جاءه رسول إحدى بناته وعنده سعد وأبي بن كعب ومعاذ أن ابنها يجود بنفسه فبعث إليها ( لله ما أخذ ولله ما أعطى كل بأجل فلتصبر ولتحتسب

- أخبرنا القاسم بن عبد الله بن عمر عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جده قال : لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءت التعزية سمعوا قائلا يقول إن في الله عزاء من كل مصيبة وخلفا من كل هالك ودركا من كل فائت فبالله فثقوا وإياه


Anjuran Membuatkan Masakan Dan Mengantarkan Kepada Keluarga Yang di Timpa Musibah Kematian.
- حدثنا مسدد ثنا سفيان حدثني جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم " . قال الشيخ الألباني : حسن
- حدثنا هشام بن عمار ومحمد بن الصباح . قالا حدثنا سفيان بن عيينة عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال : - لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( اصنعوا
لآل جعفر طعاما . فقد أتاهم ما يشغلهم أو أمر يشغلهم قال الشيخ الألباني : حسن

-حدثنا يعقوب بن إبراهيم البزاز نا بشر ومطر قالا نا سفيان عن جعفر عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما يشغلهم أو أرم يشغلهم

-حدثنا أبو بكر بن يعقوب بن إبراهيم البزاز ثنا بشر بن مطر ثنا سفيان عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما شغلهم أو أمر شغلهم

-أخبرنا أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو حامد أحمد بن محمد بن يحيى بن بلال البزاز ثنا يحيى بن الربيع المكي ثنا سفيان عن جعفر عن أبيه عن عبد الله بن جعفر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهن ما يشغلهن أو أتاهم ما يشغلهم جعفر هذا هو بن خالد بن سارة مخزومي


Larangan Makan dan Minum di Rumah Keluarga Yang Dtimpa Musibah Kematian.
- حدثنا مسدد حدثنا عبد الوارث عن أيوب عن حفصة عن أم عطية قالت : بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم فقرأ علينا { أن لا يشركن بالله شيئا } . ونهانا عن النياحة فقبضت امرأة منا يدها فقالت فلانة أسعدتني وأنا أريد أن أجزيها . فلم يقل شيئا فذهبت ثم رجعت فما وفت امرأة إلا أم سليم وأم العلاء وابنة أبي سبرة امرأة معاذ أو ابنة أبي سبرة وامرأة معاذ


-حدثنا محمد بن يحيى . قال حدثنا سعيد بن منصور . حدثنا هشيم . ح وحدثنا شجاع بن مخلد أبو الفضل . قال حدثنا هشيم عن إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازم عن جرير بن عبد الله البجلي قال : - كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة في الزوائد إسناده صحيح . رجال الطريق الأول على شرط البخاري . والثاني على شرط مسلم ش ( كنا نرى ) هذا بمنزلة رواية إجماع الصحابة رضي الله عنهم أو تقرير النبي صلى الله عليه وسلم . وعلى الثاني فحكمه الرفع . وعلى التقديرين فهو حجة .

-حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا نصر بن باب عن إسماعيل عن قيس عن جرير بن عبد الله البجلي قال : كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعه الطعام بعد دفنه من النياحة تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح ... والحديث من مسند جرير بن عبد الله البجلي والإمام أحمد ذكره هنا ثم لم يذكره في مسند جرير


-أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن أبان نا وكيع حدثني إسحاق بن عثمان الكلابي حدثني إسماعيل بن عبد الرحمن بن عطية الأنصاري حدثتني جدتي : أن النبي الله لما جمع نساء الأنصار في بيت فأتانا عمر فقام على الباب فسلم فرددنا عليه السلام فقال : أنا رسول رسول الله صلى الله عليه و سلم إليكن فقلنا مرحبا برسول الله و رسوله قال : أتبايعن على أن لا تشركن بالله شيئا و لا تسرقن و لا تزنين ؟ قالت فلنا : نعم فمددنا أيدينا من داخل البيت و مد يده من خارج قالت : و أمرنا أن نخرج الحيض و العواتق في العيدين و نهينا عن اتباع الجناز و لا جمعة علينا قال : قلت لها : ما المعروف الذي نهيتن عنه ؟ قالت : النياحة

-حدثنا وكيع عن مالك بن مغول عن طلحة قال قدم جرير على عمر فقال هل يناح قبلكم على الميت قال لا قال فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام قال نعم فقال تلك النياحة



ANALISA PENULIS
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW di atas dapat diklasifikasikan kepada tiga bahagian.

Tentang Ta’ziyah.
Bahagian pertama anjuran Rasulullah SAW untuk meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian. Di antara cara meringankan beban tersebut adalah dengan melakukan takziah.
Sebagaimana hadits Amar Ibn Hazam di atas, Rasulullah bersabda ” Tidak seorang mukmin pun yang datang berta’ziah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah di hari kiamat”.
Hadits ini menggambarkan bahwa ta’ziah dapat dilakukan dengan cara berkunjung ke rumah duka dan dapat pula dilakukan dengan memberikan ucapan sabar dan hiburan lain walaupun tidak datang ke rumah duka. Sebagaimana hadits Usamah, pesan Rasulullah agar disampaikan kepada keluarga yang ditimpa musibah, ” Dan milik Allah apa yang diambil –Nya dan yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu memiliki jangka waktu tertentu, maka hendaklah bersabar dan menabahkan hati !”.
Berdasarkan kedua hadits ini dapat dinyatakan, bahwa ta’ziah adalah suatu ibadah yang dianjurkan, baik datang lansung ke rumah keluarga yang berduka maupun dengan titipan pesan. Lafaz yang dibaca ketika ta’ziyah tidak ditentukan oleh Nabi , tetapi pesan kesabaran dan pengembalian (istirja’) sering diucapkan oleh Nabi SAW.
Adapun berdzikir di rumah orang kematian itu Nabi SAW dan para sahabat tidak pernah menjalankannya atau memerintah supaya dikerjakannya.
Dari hadits-hadits tentang ta’ziyah di atas, terlihat bahwa tidak ada Nabi menyuruh untuk mengadakan acara khusus tentang ta’ziah, apalagi sudah menyibukkan dan menyusahkan keluarga yang berduka.

Anjuran Mengantarkan Makanan.
Berdasarkan kelima hadits Ja’far yang penulis cantumkan dalam makalah ini, dapat dinyakan bahwa Nabi SAW sangat menganjurkan agar meringakan beban keluarga yang ditimpa musibah dengan mengantarkan makanan atau apa saja yang dapat meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah.
Makanan yang terdapat dalam hadits di atas hanya sebagai salah satu contoh yang dibutuhkan, mungkin ada hal- hal lain yang bisa diberikan oleh tetangga dan masyarakat lainnya, seperti biaya tajhiz (penyelenggaraan jenazah).
Dari kelima hadits tersebut, tidak ada Nabi menganjurkan agar makanan yang dibawa ke rumah duka dimakan bersama-sama di rumah tersebut.

Larangan Makan dan Minum di Rumah Keluarga Yang Ditimpa Musibah Kematian.
Berdasarkan hadits-hadits Nabi di atas dapat dinyatakan bahwa orang-orang yang bersama makan di rumahnya ahlul-maiyit, hukumnya sebagaimana yang tersebut di bawah ini :
-حدثنا محمد بن يحيى . قال حدثنا سعيد بن منصور . حدثنا هشيم . ح وحدثنا شجاع بن مخلد أبو الفضل . قال حدثنا هشيم عن إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازم عن جرير بن عبد الله البجلي قال : - كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة في الزوائد إسناده صحيح . رجال الطريق الأول على شرط البخاري . والثاني على شرط مسلم ش ( كنا نرى ) هذا بمنزلة رواية إجماع الصحابة رضي الله عنهم أو تقرير النبي صلى الله عليه وسلم. .

“ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahya, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id Ibn Mansur, dia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim, dia berkata telah menceritakan kepada kami Syuja’ Ibn Mukhallid Abu al- Fadl, dia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim dari Ismail Ibn Abi Khalid dari Qays Ibn Abi Hazm dari Jarir Ibn Abdillah al- Bajally, dia berkata bahwa kami menganggap bahwa berkumpul di tempat keluarga si mayid dan menyediakan makanan adalah bagian dari meratap. Sanad hadits ini adalah sahih. Turuq rawi yang pertama adalah turuq yang dirawikan oleh Bukhari dan Turuq yang kedua adalah turuq yang dirawikan oleh Muslim. Kalimat كنا نرى tersebut berarti menurut riwayat ijma’ sahabat atau merupakan taqrir (ketetapan) dari Nabi SAW ”.

Demikian juga dengan hadits Jarir dengan Umar RA,

-حدثنا وكيع عن مالك بن مغول عن طلحة قال قدم جرير على عمر فقال هل يناح قبلكم على الميت قال لا قال فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام قال نعم فقال تلك النياحة

“Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Malik Ibn Maghul dari Talhah, dia berkata, bahwa Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya, “Apakah masih ada yang meratapi terhadap jenazah sebelum kamu?. Jarir menjawab, “Tidak”. Lalu Umar berkata, Apakah masih ada perempuan yang berkumpul di rumah keluarga jenazah dan membuat makanan?”. Jarir menjawab, “Ya!”. Umar berkata, maka yang demikian itu adalah ratapan”.

Apabila berkumpul dan menyediakan makanan meruapakan bagian dari meratap, maka bila meratap dilarang oleh Nabi SAW maka berkumpul dan menyediakan makanan pun dilarang. Sebagaimana hadits Ismail Ibn Abdurrahman Ibn Athiyyah al- Anshary berikut :
-أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن أبان نا وكيع حدثني إسحاق بن عثمان الكلابي حدثني إسماعيل بن عبد الرحمن بن عطية الأنصاري حدثتني جدتي : أن النبي الله لما جمع نساء الأنصار في بيت فأتانا عمر فقام على الباب فسلم فرددنا عليه السلام فقال : أنا رسول رسول الله صلى الله عليه و سلم إليكن فقلنا مرحبا برسول الله و رسوله قال : أتبايعن على أن لا تشركن بالله شيئا و لا تسرقن و لا تزنين ؟ قالت فلنا : نعم فمددنا أيدينا من داخل البيت و مد يده من خارج قالت : و أمرنا أن نخرج الحيض و العواتق في العيدين و نهينا عن اتباع الجناز و لا جمعة علينا قال : قلت لها : ما المعروف الذي نهيتن عنه ؟ قالت : النياحة
Namun dalam kenyataannya, praktek di tengah-tengah masyarakat justru berlainan dengan hadits-hadits di atas. Berikut akan penulis sampaikan hasil wawancara dengan beberapa orang pegawai Pengadilan Agama Koto Baru Solok.


PRAKTEK SEBAGIAN MASYARAKAT DI SEBAGIAN WILAYAH SUMATERA BARAT.
Data-data ini penulis dapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang yang berasal dari berbagai wilayah di Sumatera Barat. Tujuan wawancara ini adalah untuk memperkaya materi makalah ini, sehingga praktek yang dilakukan oleh masyarakat dapat dianalisa dengan hadits-hadits Nabi SAW.

Praktek yang dilakukan di daerah Gurun Lawas Kenagarian Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan.
  • Takziah selama tiga hari setelah mayat terkubur. Acara ini dilakukan dengan cara masyarakat datang ke rumah duka beramai-ramai. Di rumah tersebut orang yang datang akan membaca yasin, bertahlil, dan berdoa untuk si mayat.
  • Pada hari ketiga diadakan acara berdoa yang dipimpin oleh seorang buya. Acara ini disediakan makanan dan minuman, seperti air teh dan Lapek Kareh.
  • Pada hari ketujuh dilakukan lagi pengajian yang juga disediakan minuman dan makan oleh tuan rumah.
  • Pada hari ke-14, keluarga (sumandan) membawa nasi dan makanan lainnya ke rumah duka. Kemudian dimakan bersama-sama di rumah tersebut.
  • Pada hari ke-40. Seminggu sebelumnya dilakukan acara mamarik kuburan yang juga disediakan makan dan minum oleh tuan rumah.
  • Pada hari ke 100, diadakan acara berdoa seperti sebelumnya. Tetapi diadakan acara membuat lamang.
  • Seluruh biaya yang dikeluarkan berasal dari keluarga ditambah dengan sumbangan dari masyarakat melalui celengan yang diletakkan dipinggir jalan di depan rumah kematian.
Praktek yang dilakukan di sebagian daerah Tanah Kampung Kecamatan Sitinjau Laut (sekarang Kec. Tanah Kampung) Kerinci.
  • Tujuh hari sejak terkubur dilakukan ta’ziah. Acara ini bagi keluarga yang mampu diadakan secara besar-besaran dengan menyemblih sapi atau hewan ternak lainnya.
  • Adat-adat seperti ini dilakukan sampai hari ke-40.
  • Perkiraan biaya yang dikeluarkan lebih kurang Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Praktek di Daerah Cupak, Selayo, dan Koto Baru Solok.
  • Hari 1, orang-orang yang terlibat dengan pelaksanaan jenazah disediakan makan oleh tuan rumah.
  • Setelah lewat tiga hari, diadakan acara dulang Bakirai. Yaitu pihak keluarga istri yang ditinggal mati oleh suami datang ke rumah keluarga suami membawa makanan.
  • Pada hari ketujuh dilakukan berdoa dengan memanggil tetangga. Acara ini juga disediakan makan dan minum oleh keluarga.
  • Selanjutnya hari ke 10, 20, 30, 40, 50, 60 S/d hari ke-100 diadakan acara bedoa dengan memberi kepada buya yang mendoa oleh-oleh, seperti payung, kasur, pakaian dan lain sebagainya.
  • Seluruh biaya ditanggung oleh keluarga ditambah dengan bawaan oleh keluarga yang datang.
  • Untuk menutupi biaya ini tidak jarang pihak keluarga yang berduka meminjam uang bahkan menggadai.

Dari hasil wawancara ini tergambar bahwa sampai saat ini di sebagaian wilayah Sumatera Barat, masih dilakukan tradisi-tradisi kematian yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Bahkan dari beberapa responden yang penulis wawancarai ternyata semuanya mengatakan bahwa tradisi-tradisi yang tidak pernah disuruh oleh Rasulullah dan Sahabat masih dilakukan sampai sekarang. Apalagi bila yang meninggal adalah penghulu suku atau orang yang tergolong kaya atau mampu dengan biaya untuk mengadakan acara yang besar-besaran, seperti menyemblih sapi dan lain sebagainya.
Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa berlaku di sebagaian wilayah Sumatera Barat ini, hukumnya bid'ah ; dan bid'ah yang tersebut itu seringkali mencelakakan orang-orang yang tidak mampu yang terkadang menjual barang-barangnya atau menggadaikannya atau meminjam uang guna mengadakan selamatan, sehingga dengan hal ini mereka bisa menjadi tambah susah dan tambah miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras, bahwa orang yang susah itu tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangan yang bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi s.a.w. menyuruh supaya ahlulmaiyit itu diberi makanan yang cukup.

PENUTUP
Akhirnya makalah ini penulis tutup dengan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Ta’ziyah hukumnya adalah sunat. Tetapi ta’ziyah yang menyabarkan keluarga sehingga beban fikirannya semakin berkurang dan sabar serta tawakkal dalam menerima musibah. Ta’ziyah tidak dibenarkan dengan membuat serangkaian acara yang tidak disuruh oleh Rasulullah, apalagi menyibukkan dan memberatkan keluarga si mayit.
  2. Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa menurut sunnah, hendaklah ahlulmaiyit itu diberi makanan, bukan mereka yang mesti memberi makanan, sebagaimana keadaan yang berlaku sekarang ini.
  3. Telah terbukti dari riwayat di atas, bahwa sekalian Sahabat telah mufakat atas melarang orang-orang berkumpul dan makan-makan di rumah ahli maiyit, keadaan yang sedemikian itu dinamakan oleh mereka r a t a p a n, sedang meratap itu, hukumnya haram.



ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK

ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK
(Disampaikan dalam perkuliahan Hukum Ketatanegaraan Dalam Islam
Pada program Pasca sarjana S3 UMSB Padang 2008 oleh H. FAHMI. R, MHI)




Nurchalish Madjid mengungkapkan bahwa, “ Dari tindakan yang lebih principal, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara Negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi… antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam cara pendekatannya. Karena suatu Negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual, guna mengurus dan mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya, maka tak mungkin pula memberikan prediket keagamaan kepada Negara.

Gagasan-gagasan pembaharuan yang dilontarkan oleh Nurchalish itu segera mendapatkan berbagai tanggapan, baik dari kalangan intelektual muda Islam maupun para seniornya. Dari kalangan muda yang memberi tanggapan antara lain Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metarium, dan Abdul Qadir DJaelani. Sementara dari angkatan tua adalah Prof. M. Rasyidi, Muhammad Natsir, dan juga Hamka.
Gagasan ini lebih dikenal dengan gagasan sekularisasi. Gagasan ini juga berimplikasi terhadap paham nasionalis. Sehingga Nasionalime juga menjadi dua kubu, yaitu nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler.
Nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang selalu menjadi dua kubu yang berseteru. Bahkan menurut Mark Juergensmeyer (seorang sarjana Amerika) kedua kubu ini tidak akan pernah bisa disatukan atau dikompromikan sampai kapanpun.
Makalah ini akan menyajikan tentang pengertian nasionalisme, latarbelakang munculnya, Islam dan Negara nasional, dan nasionalisme di Indonesia (nasionalisme religius versus nasionalisme sekuler).

Pengertian Nasionalisme.
Nasionalime secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yakni dari kata nation yang berarti bangsa. Dalam pengertian politik, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Nation dalam konteks political science ini yang dimaksud sebagai kajian pokok tentang nasionalisme.
Lebih lanjut dalam Enciklopaedia of Social Science, Nasionalisme dinyatakan sebagai suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan kekuasaan).

Latar Belakang Timbulnya Nasionalisme.
Nasionalisme pada mulanya merupakan konsep mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan, selain juga sebagai gejala awal modernisme bersamaan runtuhnya imperium kekaisaran di berbagai belahan dunia, seperti sistem kekhalifahan yang berakar di Timur Tengah dan merembes memasuki wilayah Eropa.
Dalam teori politik, manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa, dan nasionalisme sebagai nilai rohaniah mendorong kehendak untuk hidup dan survive sebagai suatu bangsa yang bersatu berdaulat. Hal ini mendorong dinamika keberagamaan menjadi sangat intens dan kritis.
Negara-negara yang pada mulanya lahir dalam konteks keagamaan mulai menampilkan unsur baru nasionalitas tersebut. Dalam nasionalisme terdapat suatu kemauan yang kuat untuk bersatu dalam bidang politik dalam suatu negara kebangsaan (nasional). Rasa nasionalisme itu sudah dianggap muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama mendirikan suatu negara kebangsaan. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib, dan patriotisme kemudian bersatu dan melahirkan rasa nasionalisme.
Nasionalisme, dalam analisis historikal, lebih awal berkembang di Barat. Nasionalisme memang merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai kapan persis muncul dan berkembangnyan. Ada pandangan yang mengatakan bahwa nasionalisme pertama kali muncul di Inggris, pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Selain itu ada persepsi yang mengatakan manifestasinya pertama kali muncul di Amerika Utara. Meskipun demikian, ada kesamaan persepsi tentang munculnya nasionalisme itu berawal dari Barat, kemudian menyebar ke Timur.
Dalam historisitas politik, nasionalisme muncul sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan imperialisme Barat, terutama sejak revolusi Perancis secara revolusioner meluaskan penetrasinya ke berbagai bangsa di permukaan bumi ini.
Nasionalisme Barat mengandung prinsip demokrasi prinsip demokrasi yang muncul dari Perancis. Nasionalisme yang pada mulanya melahirkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi suatu policy yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas dasar humaniter.
Persaingan antar negara-negara kebangsaan di Eropa, kemudian berkembang memperebutkan negeri-negeri jajahan. Penjajahan ini menimbulkan gerakan nasional di Negara-negara jajahan. Perjuangan menentang penjajahan itu muncul dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan tujuan gerakan nasionalisme yang hampir selalu searah di Negara jajahan.

Islam dan Negara Nasional. 
Bangsa (nation) adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kitab suci al- Quran pun mengatakan dengan jelas bahwa :
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya kami telah menciptakan kamu kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu dapat saling berta’aruf. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang lebih bertaqwa di antara kamu”.
Syu’ub artinya adalah bangsa dan qabail artinya adalah suku. Namun yang paling penting adalah lita’arafu. Dengan demikian tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis dalam pengertian seperti itu. Karena al-Quran sendiri bilang seperti itu.
Nurchalish Madjid pada akhir wawancara eksklusifnya menjelaskan, bahwa umat Islam tidak perlu menuntut Negara atau pemerintah ini menjadi Negara atau pemerintah Islam. Baginya yang penting adalah isi atau substansinya, bukan untuk formalnya. Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi boleh Negara ini apa pun bentuknya, tetapi values atau nilai-nilai yang dijalankan adalah nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah, yang diridhai Allah. Negara yang diridhai Allah. Negara yang seperti ini dapat ditumbuhkan melalui pendekatan cultural, pendekatan budaya dalam arti seluas-luasnya. Termasuk dalam pendidikan, dakwah, kesenian, dan di antara yang terpenting adalah dinamika inteletual.
Senada dengan Nurchalis Madjid, Abdurrahman Wahid juga berpendapat bahwa dalam Islam Negara itu adalah hukum (al-hukm), dan sama sekali tidak memiliki bentuk Negara. Yang penting bagi Islam etika kemasyarakatan dan komunitas. Alasannya, Islam tidak memiliki konsep pemerintah yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok, yakni suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlu al-hally wa al- ‘aqdy. Padahal, soal suksesi adalah masalah yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Kalau memang Islam punya konsep, tentu tidak terjadi demikian.
Alasan yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid adalah firman Allah di atas juga. Menurutnya, ayat di atas sudah eksplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian, sebenarnya tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi dia mengakui, pengertian bangsa dalam rumusan al-Quran di atas terbatas hanya pada sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial bersama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini pengertiannya sudah lain, yakni satuan politis yang didukung oleh ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep Negara- bangsa (nation-state). Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global merupakan nation-state.
Berangkat dari pendapat Nurchalis Madjid dan Abdurrahman Wahid ini dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk Negara yang digunakan.
Pemikiran yang berseberangan dengan dua tokoh di atas adalah pikiran Abu al-A’la al- Maududi yang mendapat empati dari Amin Rais yang menawarkan teori Negara Islam dan sistem khilafah. Menurut Dawam Raharjo salah seorang pemikir transformis, “Baik Maududy maupun Amin Rais terjebak dalam perangkap konstruk Negara Ideal seperti yang pernah dikemukakan oleh Supomo pada tahun 1945. Menurut D. Raharjo Konsep Negara Islam adalah salah satu jenis konstruk ideal yang bersifat totaliter dan elitis.
Menurutnya, dalam konsep seperti ini elitnya adalah mereka yang dinilai paling mengetahui tentang hokum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cendrung bertindak atas nama Tuhan, seperti mereka mengambil alih kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Negara, memikul tugas khilafah.
Dengan pandangan ini D. Raharjo ingin menghindarkan umat Islam dari sikap formalistic dalam memahami teori dan konsepsi kenegaraan. Baginya, umat Islam perlu bersikap objektif terhadap eksistensi Negara nasional dan yang lebih penting lagi adalah memberikan respon konkrit, baik melalui tindakan nyata maupun konsepsi yang realistik bagi kepentingan umat Islam.
Sebaliknya konsep Negara bangsa atau Negara nasional juga dapat menghancurkan visi universalisme Islam. Tetapi kenyataan dengan adanya Negara bangsa adalah keharusan sejarah yang harus dilalui. Bahkan mungkin dalam perjalanan jangka panjang. Namun Syafii Maarif menyatakan bahwa sistem Negara bangsa tidak akan bertahan dalam masyarakat Islam karena kehadiran sistem ini tidak sepenuhnya diakui oleh ajaran Islam yang memandang semua mereka yang beriman adalah bersaudara. Sedangkan sistem Negara bangsa atau Negara nasional bila tidak hati-hati menanganinya menjurus kepada pendewaan terhadap bangsa atau Negara.
Namun dengan argumennya itu Syafi’I seperti dikatakannya sendiri, bukan berarti tidak setuju dengan Negara bangsa atau Negara nasional tersebut. Yang ingin ditegaskannya, sistem Negara kebangsaan yang berkembang di dunia Islam jangan sampai menghancurkan prinsip persaudaraan umat yang menjadi bagian dari imannya itu. Oleh karenanya, dalam suatu Negara nasional, prinsip universalisme Islam haruslah selalu menyinari politik luar negeri dari bangsa itu, khususnya terhadap negeri-negeri Islam yang lain, agar nasionalime di negeri Muslim tidak semacam agama semu.

Nasionalisme di Indonesia (Nasionalisme Religius VS Nasionalisme Sekuler) 
Pergerakan nasional di Indonesia, versi Hatta, dimulai dari beberapa orang, kemudian diikuti oleh pergerakan rakyat mencapai kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Atas dasar ini, terlihat nasionalisme Indonesia pada mulanya sebagai nasionalisme yang anti imperialisme dan kolonialisme. Pada mulanya perkembangan nasionalisme di Indonesia lebih bercorak nasionalisme kultural yang berdasarkan ikatan kesamaan budaya lokal dan daerah. Nasionalisme dalam pengertian politik muncul beriringan setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan Sarikat Islam (SI) kepada H. Oemar Said Tjokroaminoto pada bulan Mei 1912 yang merubah sifat Sarikat Islam dan memperluas gerakannya. Dalam waktu yang bersamaan, organisasi Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda muncul pula sebagai organisasi-organisasi lainnya seperti PNI di Bandung pada tahun 1927. Corak nasionalisme dalam perkembangannya di Indonesia ternyata mengiringi latar belakang pemikiran kepercayaan kultur bangsa Indonesia untuk menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda.
Ketika proses awal pembentukan Negara Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah, ternyata persoalan yang paling krusial adalah menyepakati dasar Negara. Perbedaan paham di kalangan kaum pergerakan nasional Indonesia makin kentara, terutama antara kelompok Islam versus nasionalis. Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) permasalahan pokok yang menjadi polemik politik tatkala ada pembicaraan tentang dasar Negara tersebut. Kelompok Islam politik berupaya menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal ini tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis. Perdebatan menunjukkan tentang masalah agama dan Negara, yang bahkan telah terjadi antara Soekarno dan Natsir sebelum Indonesia merdeka.
Kelompok Islam politik menekankan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari Negara. Urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral dengan Islam. Sedangkan kalangan nasionalis mendukung gagasan pemisahan agama dari Negara. Agama sebagai aturan-aturan spiritual (akhirat) dan agama adalah masalah duniawi (sekuler).
Perdebatan ini terus bergulir sampai pada piagam Jakarta. Resolusi konflik ideologis kemudian diretas oleh Mohammad Hatta, sebagai upaya menjamin persatuan bangsa dalam masa-masa gawat dan sulit dihadapi dan menghindarkan adanya sesuatu dalam konstitusi yang menebur benih perpecahan.
Perdebatan antara kelompok Islam dengan nasionalisme, sebagai kekuatan ideologi yang berbeda, juga muncul pada masa orde baru dan era berikutnya. Perbedaan tersebut tidak lepas dari kutub pemikiran mengenai hubungan agama dengan Negara. Hubungan agama dengan Negara di Indonesia seakan menjadi perdebatan sepanjang sejarah.
Pernyataan Efrinaldi ini agaknya sesuai dengan pertanyaan yang pernah diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer. Yaitu “apakah pertentangan antara nasionalime religius dan nasionalisme sekuler akan memanas menjadi perang dingin baru?”. Demikian pertanyaan Mark Juergensmeyer. Dalam bukunya The New Cold War? Religius Nasionalism Confronts the Sekuler State?
Sarjana Amerika ini tidak memberikan jawaban yang tegas dalam bukunya ini. Tetapi cukup baik untuk disimak. Menurutnya, jika tidak ada kompromi antara kedua kubu tersebut (nasionalme religius dan nasionalisme sekuler), maka situasi dunia yang akan datang akan jauh lebih buruk dibanding masa lalu. Dan rasa permusuhan yang tertanam akan jauh lebih melebihi rasa permusuhan global dalam perang dingin.
Secara diam-diam perseteruan seperti ini terus berlanjut di Indonesia. Yaitu kian mengerasnya polarisasi antara kubu nasionalime sekuler dengan nasionalisme religius.
Hal ini terlihat dari pengelompokkan sejumlah partai berbasis Islam sebelum pemilu berlansung di satu sisi dengan sistem stembuss accord (penggabungan suara), dan hal yang sama yang dilakukan sejumlah partai berbasis ideologi nasionalisme di sisi lain, telah mengawali polarisasi tersebut. Sehingga tak kurang dari Amin Rais, Ketua umum Partai Amanah Nasional (PAN), pernah merisaukan kecendrungan pengkubuan tersebut yang menurutnya tidak produktif bagi tujuan-tujuan reformasi, bahkan bisa menghambat proses demokratisasi secara keseluruhan. Itulah sebabnya Amien dengan PAN yang dipimpinnya mencoba berdiri di tengah-tengah. Ia melakukan komunike bersama dengan PKB dan PDI Perjuangan dari kubu nasionalisme tapi juga melakukan hal yang sama dengan PPP dan Partai Keadilan dari kubu Islam.
Maka terbitlah kecurigaan dari sebagian pengamat bahwa apa yang dilakukan oleh Amien tak lebih ialah suatu “langkah politis” dimana ia ingin memperoleh simpati dari kalangan nasionalis, dan pada saat bersamaan tidak ingin kehilangan dukungan dari Islam. Sikapnya yang “sulit” itu menempatkan menempatkan partainya (PAN) pada posisi yang hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu, karena dianggap “tidak tegas” dan “terlalu fleksibel”, sehingga terkesan “tidak punya sikap”. Hasil pemilu yang selalu menempatkan PAN sebagai partai yang “tidak besar” tetapi juga “tidak kecil” (suatu perolehan yang cukup pantas untuk sebuah partai baru).
Pergulatan tersebut sampai sekarang akan terus berlanjut. Sampai suatu saat kesadaran dan kedewasaan para pemikir dari kedua kubu (nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler) saling memberikan solusi yang tidak merugikan salah satu pihak.

Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
  • Perbedaan paradigma tentang hubungan agama dan Negara berimplikasi terhadap prinsip kebangsaan (nation), yaitu antara nasionalis religius dan nasionalis sekuler;
  • Perseteruan antara kedua kubu ini akan terus berlanjut sampai antara kedua kubu mempunyai win-win solution yang tidak merugikan salah satu pihak. Amin.