20 Agustus 2008

ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK

ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK
(Disampaikan dalam perkuliahan Hukum Ketatanegaraan Dalam Islam
Pada program Pasca sarjana S3 UMSB Padang 2008 oleh H. FAHMI. R, MHI)




Nurchalish Madjid mengungkapkan bahwa, “ Dari tindakan yang lebih principal, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara Negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi… antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam cara pendekatannya. Karena suatu Negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual, guna mengurus dan mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya, maka tak mungkin pula memberikan prediket keagamaan kepada Negara.

Gagasan-gagasan pembaharuan yang dilontarkan oleh Nurchalish itu segera mendapatkan berbagai tanggapan, baik dari kalangan intelektual muda Islam maupun para seniornya. Dari kalangan muda yang memberi tanggapan antara lain Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metarium, dan Abdul Qadir DJaelani. Sementara dari angkatan tua adalah Prof. M. Rasyidi, Muhammad Natsir, dan juga Hamka.
Gagasan ini lebih dikenal dengan gagasan sekularisasi. Gagasan ini juga berimplikasi terhadap paham nasionalis. Sehingga Nasionalime juga menjadi dua kubu, yaitu nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler.
Nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang selalu menjadi dua kubu yang berseteru. Bahkan menurut Mark Juergensmeyer (seorang sarjana Amerika) kedua kubu ini tidak akan pernah bisa disatukan atau dikompromikan sampai kapanpun.
Makalah ini akan menyajikan tentang pengertian nasionalisme, latarbelakang munculnya, Islam dan Negara nasional, dan nasionalisme di Indonesia (nasionalisme religius versus nasionalisme sekuler).

Pengertian Nasionalisme.
Nasionalime secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yakni dari kata nation yang berarti bangsa. Dalam pengertian politik, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Nation dalam konteks political science ini yang dimaksud sebagai kajian pokok tentang nasionalisme.
Lebih lanjut dalam Enciklopaedia of Social Science, Nasionalisme dinyatakan sebagai suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan kekuasaan).

Latar Belakang Timbulnya Nasionalisme.
Nasionalisme pada mulanya merupakan konsep mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan, selain juga sebagai gejala awal modernisme bersamaan runtuhnya imperium kekaisaran di berbagai belahan dunia, seperti sistem kekhalifahan yang berakar di Timur Tengah dan merembes memasuki wilayah Eropa.
Dalam teori politik, manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa, dan nasionalisme sebagai nilai rohaniah mendorong kehendak untuk hidup dan survive sebagai suatu bangsa yang bersatu berdaulat. Hal ini mendorong dinamika keberagamaan menjadi sangat intens dan kritis.
Negara-negara yang pada mulanya lahir dalam konteks keagamaan mulai menampilkan unsur baru nasionalitas tersebut. Dalam nasionalisme terdapat suatu kemauan yang kuat untuk bersatu dalam bidang politik dalam suatu negara kebangsaan (nasional). Rasa nasionalisme itu sudah dianggap muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama mendirikan suatu negara kebangsaan. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib, dan patriotisme kemudian bersatu dan melahirkan rasa nasionalisme.
Nasionalisme, dalam analisis historikal, lebih awal berkembang di Barat. Nasionalisme memang merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai kapan persis muncul dan berkembangnyan. Ada pandangan yang mengatakan bahwa nasionalisme pertama kali muncul di Inggris, pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Selain itu ada persepsi yang mengatakan manifestasinya pertama kali muncul di Amerika Utara. Meskipun demikian, ada kesamaan persepsi tentang munculnya nasionalisme itu berawal dari Barat, kemudian menyebar ke Timur.
Dalam historisitas politik, nasionalisme muncul sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan imperialisme Barat, terutama sejak revolusi Perancis secara revolusioner meluaskan penetrasinya ke berbagai bangsa di permukaan bumi ini.
Nasionalisme Barat mengandung prinsip demokrasi prinsip demokrasi yang muncul dari Perancis. Nasionalisme yang pada mulanya melahirkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi suatu policy yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas dasar humaniter.
Persaingan antar negara-negara kebangsaan di Eropa, kemudian berkembang memperebutkan negeri-negeri jajahan. Penjajahan ini menimbulkan gerakan nasional di Negara-negara jajahan. Perjuangan menentang penjajahan itu muncul dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan tujuan gerakan nasionalisme yang hampir selalu searah di Negara jajahan.

Islam dan Negara Nasional. 
Bangsa (nation) adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kitab suci al- Quran pun mengatakan dengan jelas bahwa :
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya kami telah menciptakan kamu kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu dapat saling berta’aruf. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang lebih bertaqwa di antara kamu”.
Syu’ub artinya adalah bangsa dan qabail artinya adalah suku. Namun yang paling penting adalah lita’arafu. Dengan demikian tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis dalam pengertian seperti itu. Karena al-Quran sendiri bilang seperti itu.
Nurchalish Madjid pada akhir wawancara eksklusifnya menjelaskan, bahwa umat Islam tidak perlu menuntut Negara atau pemerintah ini menjadi Negara atau pemerintah Islam. Baginya yang penting adalah isi atau substansinya, bukan untuk formalnya. Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi boleh Negara ini apa pun bentuknya, tetapi values atau nilai-nilai yang dijalankan adalah nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah, yang diridhai Allah. Negara yang diridhai Allah. Negara yang seperti ini dapat ditumbuhkan melalui pendekatan cultural, pendekatan budaya dalam arti seluas-luasnya. Termasuk dalam pendidikan, dakwah, kesenian, dan di antara yang terpenting adalah dinamika inteletual.
Senada dengan Nurchalis Madjid, Abdurrahman Wahid juga berpendapat bahwa dalam Islam Negara itu adalah hukum (al-hukm), dan sama sekali tidak memiliki bentuk Negara. Yang penting bagi Islam etika kemasyarakatan dan komunitas. Alasannya, Islam tidak memiliki konsep pemerintah yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok, yakni suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlu al-hally wa al- ‘aqdy. Padahal, soal suksesi adalah masalah yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Kalau memang Islam punya konsep, tentu tidak terjadi demikian.
Alasan yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid adalah firman Allah di atas juga. Menurutnya, ayat di atas sudah eksplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian, sebenarnya tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi dia mengakui, pengertian bangsa dalam rumusan al-Quran di atas terbatas hanya pada sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial bersama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini pengertiannya sudah lain, yakni satuan politis yang didukung oleh ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep Negara- bangsa (nation-state). Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global merupakan nation-state.
Berangkat dari pendapat Nurchalis Madjid dan Abdurrahman Wahid ini dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk Negara yang digunakan.
Pemikiran yang berseberangan dengan dua tokoh di atas adalah pikiran Abu al-A’la al- Maududi yang mendapat empati dari Amin Rais yang menawarkan teori Negara Islam dan sistem khilafah. Menurut Dawam Raharjo salah seorang pemikir transformis, “Baik Maududy maupun Amin Rais terjebak dalam perangkap konstruk Negara Ideal seperti yang pernah dikemukakan oleh Supomo pada tahun 1945. Menurut D. Raharjo Konsep Negara Islam adalah salah satu jenis konstruk ideal yang bersifat totaliter dan elitis.
Menurutnya, dalam konsep seperti ini elitnya adalah mereka yang dinilai paling mengetahui tentang hokum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cendrung bertindak atas nama Tuhan, seperti mereka mengambil alih kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Negara, memikul tugas khilafah.
Dengan pandangan ini D. Raharjo ingin menghindarkan umat Islam dari sikap formalistic dalam memahami teori dan konsepsi kenegaraan. Baginya, umat Islam perlu bersikap objektif terhadap eksistensi Negara nasional dan yang lebih penting lagi adalah memberikan respon konkrit, baik melalui tindakan nyata maupun konsepsi yang realistik bagi kepentingan umat Islam.
Sebaliknya konsep Negara bangsa atau Negara nasional juga dapat menghancurkan visi universalisme Islam. Tetapi kenyataan dengan adanya Negara bangsa adalah keharusan sejarah yang harus dilalui. Bahkan mungkin dalam perjalanan jangka panjang. Namun Syafii Maarif menyatakan bahwa sistem Negara bangsa tidak akan bertahan dalam masyarakat Islam karena kehadiran sistem ini tidak sepenuhnya diakui oleh ajaran Islam yang memandang semua mereka yang beriman adalah bersaudara. Sedangkan sistem Negara bangsa atau Negara nasional bila tidak hati-hati menanganinya menjurus kepada pendewaan terhadap bangsa atau Negara.
Namun dengan argumennya itu Syafi’I seperti dikatakannya sendiri, bukan berarti tidak setuju dengan Negara bangsa atau Negara nasional tersebut. Yang ingin ditegaskannya, sistem Negara kebangsaan yang berkembang di dunia Islam jangan sampai menghancurkan prinsip persaudaraan umat yang menjadi bagian dari imannya itu. Oleh karenanya, dalam suatu Negara nasional, prinsip universalisme Islam haruslah selalu menyinari politik luar negeri dari bangsa itu, khususnya terhadap negeri-negeri Islam yang lain, agar nasionalime di negeri Muslim tidak semacam agama semu.

Nasionalisme di Indonesia (Nasionalisme Religius VS Nasionalisme Sekuler) 
Pergerakan nasional di Indonesia, versi Hatta, dimulai dari beberapa orang, kemudian diikuti oleh pergerakan rakyat mencapai kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Atas dasar ini, terlihat nasionalisme Indonesia pada mulanya sebagai nasionalisme yang anti imperialisme dan kolonialisme. Pada mulanya perkembangan nasionalisme di Indonesia lebih bercorak nasionalisme kultural yang berdasarkan ikatan kesamaan budaya lokal dan daerah. Nasionalisme dalam pengertian politik muncul beriringan setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan Sarikat Islam (SI) kepada H. Oemar Said Tjokroaminoto pada bulan Mei 1912 yang merubah sifat Sarikat Islam dan memperluas gerakannya. Dalam waktu yang bersamaan, organisasi Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda muncul pula sebagai organisasi-organisasi lainnya seperti PNI di Bandung pada tahun 1927. Corak nasionalisme dalam perkembangannya di Indonesia ternyata mengiringi latar belakang pemikiran kepercayaan kultur bangsa Indonesia untuk menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda.
Ketika proses awal pembentukan Negara Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah, ternyata persoalan yang paling krusial adalah menyepakati dasar Negara. Perbedaan paham di kalangan kaum pergerakan nasional Indonesia makin kentara, terutama antara kelompok Islam versus nasionalis. Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) permasalahan pokok yang menjadi polemik politik tatkala ada pembicaraan tentang dasar Negara tersebut. Kelompok Islam politik berupaya menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal ini tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis. Perdebatan menunjukkan tentang masalah agama dan Negara, yang bahkan telah terjadi antara Soekarno dan Natsir sebelum Indonesia merdeka.
Kelompok Islam politik menekankan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari Negara. Urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral dengan Islam. Sedangkan kalangan nasionalis mendukung gagasan pemisahan agama dari Negara. Agama sebagai aturan-aturan spiritual (akhirat) dan agama adalah masalah duniawi (sekuler).
Perdebatan ini terus bergulir sampai pada piagam Jakarta. Resolusi konflik ideologis kemudian diretas oleh Mohammad Hatta, sebagai upaya menjamin persatuan bangsa dalam masa-masa gawat dan sulit dihadapi dan menghindarkan adanya sesuatu dalam konstitusi yang menebur benih perpecahan.
Perdebatan antara kelompok Islam dengan nasionalisme, sebagai kekuatan ideologi yang berbeda, juga muncul pada masa orde baru dan era berikutnya. Perbedaan tersebut tidak lepas dari kutub pemikiran mengenai hubungan agama dengan Negara. Hubungan agama dengan Negara di Indonesia seakan menjadi perdebatan sepanjang sejarah.
Pernyataan Efrinaldi ini agaknya sesuai dengan pertanyaan yang pernah diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer. Yaitu “apakah pertentangan antara nasionalime religius dan nasionalisme sekuler akan memanas menjadi perang dingin baru?”. Demikian pertanyaan Mark Juergensmeyer. Dalam bukunya The New Cold War? Religius Nasionalism Confronts the Sekuler State?
Sarjana Amerika ini tidak memberikan jawaban yang tegas dalam bukunya ini. Tetapi cukup baik untuk disimak. Menurutnya, jika tidak ada kompromi antara kedua kubu tersebut (nasionalme religius dan nasionalisme sekuler), maka situasi dunia yang akan datang akan jauh lebih buruk dibanding masa lalu. Dan rasa permusuhan yang tertanam akan jauh lebih melebihi rasa permusuhan global dalam perang dingin.
Secara diam-diam perseteruan seperti ini terus berlanjut di Indonesia. Yaitu kian mengerasnya polarisasi antara kubu nasionalime sekuler dengan nasionalisme religius.
Hal ini terlihat dari pengelompokkan sejumlah partai berbasis Islam sebelum pemilu berlansung di satu sisi dengan sistem stembuss accord (penggabungan suara), dan hal yang sama yang dilakukan sejumlah partai berbasis ideologi nasionalisme di sisi lain, telah mengawali polarisasi tersebut. Sehingga tak kurang dari Amin Rais, Ketua umum Partai Amanah Nasional (PAN), pernah merisaukan kecendrungan pengkubuan tersebut yang menurutnya tidak produktif bagi tujuan-tujuan reformasi, bahkan bisa menghambat proses demokratisasi secara keseluruhan. Itulah sebabnya Amien dengan PAN yang dipimpinnya mencoba berdiri di tengah-tengah. Ia melakukan komunike bersama dengan PKB dan PDI Perjuangan dari kubu nasionalisme tapi juga melakukan hal yang sama dengan PPP dan Partai Keadilan dari kubu Islam.
Maka terbitlah kecurigaan dari sebagian pengamat bahwa apa yang dilakukan oleh Amien tak lebih ialah suatu “langkah politis” dimana ia ingin memperoleh simpati dari kalangan nasionalis, dan pada saat bersamaan tidak ingin kehilangan dukungan dari Islam. Sikapnya yang “sulit” itu menempatkan menempatkan partainya (PAN) pada posisi yang hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu, karena dianggap “tidak tegas” dan “terlalu fleksibel”, sehingga terkesan “tidak punya sikap”. Hasil pemilu yang selalu menempatkan PAN sebagai partai yang “tidak besar” tetapi juga “tidak kecil” (suatu perolehan yang cukup pantas untuk sebuah partai baru).
Pergulatan tersebut sampai sekarang akan terus berlanjut. Sampai suatu saat kesadaran dan kedewasaan para pemikir dari kedua kubu (nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler) saling memberikan solusi yang tidak merugikan salah satu pihak.

Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
  • Perbedaan paradigma tentang hubungan agama dan Negara berimplikasi terhadap prinsip kebangsaan (nation), yaitu antara nasionalis religius dan nasionalis sekuler;
  • Perseteruan antara kedua kubu ini akan terus berlanjut sampai antara kedua kubu mempunyai win-win solution yang tidak merugikan salah satu pihak. Amin.

Tidak ada komentar: