28 Agustus 2008

PROSEDUR BERPERKARA PRODEO PADA PENGADILAN TINGKAT BANDING

  • Permohonan berperkara secara prodeo pada tingkat banding, diajukan secara lisan atau tertulis kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan atau diberitahukan (Pasal 242 ayat (1) HIR/Pasal 278 ayat (1) R.Bg./Pasal 12 UU No. 20 Tahun 1947.

  • Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama memanggil kedua belah pihak yang berperkara untuk memeriksa permohonan berperkara secara prodeo (Pasal 242 ayat (3) HIR/ Pasal 278 ayat (1) R.Bg.). Mekanisme penunjukan majelis hakim (PMH), penetapan hari sidang, proses pemanggilan dan biayanya serta pembukuannya mengacu pada ketentuan dalam Prosedur Berperkara Secara Prodeo Dalam Tingkat Pertama.

  • Berita Acara hasil pemeriksaan permohonan berperkara secara prodeo dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar'iyyah Propinsi bersama bundel A dan salinan putusan (Pasal 244 HIR/Pasal 280 R.Bg.).

  • Pengiriman berita acara tersebut dalam tenggang waktu selambat lambatnya 7 hari setelah pemeriksaan selesai (Pasal 13 UU No. 20/1947).Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar'iyyah Propinsi memeriksa permohonan tersebut dan menjatuhkan putusan dalam bentuk penetapan dan penetapan tersebut dikirimkan bersama bundel A ke Pengadilan Agama (Pasal 245 ayat (1) HIR/Pasal 281 ayat (1) dan (2) R.Bg./Pasal 14 UU No. 20/1947).

  • Pengadilan Tinggi Agama/M.Sy. Propinsi karena jabatannya dapat menolak permohonan untuk berperkara secara prodeo (Pasal 245 ayat (1) HIR/Pasal 281 ayat (1) R.Bg.). Apabila permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan, maka pemohon dapat mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah amar penetapan diberitahukan kepada pemohon dengan membayar biaya banding.

  • Apabila permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, maka berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dikirimkan oleh Pengadilan Agama/M.Sy. ke Pengadilan Tinggi Agama/M.Sy. Propinsi untuk dilanjutkan ke proses pemeriksaan pokok perkara.

  • Apabila permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, maka pemohon dibebaskan dari semua biaya perkara Banding dan biaya perkara dibebankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama.

  • Mekanisme pengeluaran dari DIPA, penyerahan ke Kasir, pengelolaan penerimaan/pengeluaran di buku keuangan perkara dan peng-SPJ-an oleh Bendaharawan Rutin mengacu pada mekanisme huruf q dan r


PROSEDUR BERPERKARA PRODEO DI PENGADILAN TINGKAT PERTAMA

  • Bagi Penggugat/Pemohon yang mengajukan permohonan berperkara secara prodeo diajukan bersamasama pada saat mengajukan surat gugatan/permohonan atau pada saat mengajukan gugatan/permohonan lisan. Bagi Tergugat/Termohon dapat diajukan pada saat memasukkan jawaban gugatan /permohonan Penggugat/Pemohon ( Vide : Pasal 237 dan 238 ayat (1) dan ayat(2) HIR/Pasal 273 dan 274 ayat (1) dan ayat (2) R.Bg.

  • Penggugat/Pemohon harus menyebutkan alasan untuk berperkara secara prodeo dalam surat gugatan/permohonan yang diajukan.

  • Dalam petitum gugatan/permohonan dicatumkan kalimat antara lain :
  1. Memberi izin kepada Penggugat/Pemohon untuk berperkara secara Prodeo.
  2. Membebaskan Penggugat / Pemohon dari segala biaya perkara.
  • Penggugat /Pemohon mengajukan gugatan atau permohonannya ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama mengeluarkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), sebesar Rp. 0,00 (tata cara pengajuan gugatan/permohonan sesuai tata cara yang diatur dalam prosedur penerimaan perkara dalam Pola Bindalmin)

  • Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis Hakim untuk menangani perkara tersebut (PMH). Majelis Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang (PHS) dan memerintahkan Jurusita untuk memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/ Termohon, dengan biaya pemanggilan pertama kali dibebankan anggaran Pengadilan kepada Panitera /Sekretaris / Kuasa Pengguna Anggaran dengan instrumen khusus.

  • Setelah menerima perintah dari Majelis Hakim, Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan Bendaharawan Rutin untuk mengeluarkan biaya panggilan tersebut dari mata anggaran yang telah disediakan dalam DIPA dengan menggunakan instrumen khusus dan instrumen tersebut dijadikan bukti untuk di-SPJ-kan sebagai pengeluaran.

  • Bendaharawan Rutin menghubungi Petugas Meja Satu untuk meminta taksiran biaya panggilan tersebut. Setelah ditaksir Petugas Meja Satu yang kemudian dituangkan dalam SKUM ( rangkap tiga) lalu SKUM tersebut diserahkan kepada Bendaharawan Rutin untuk diproses lebih lanjut.

  • Setelah menerima SKUM dari Petugas Meja Satu, kemudian Bendaharawan rutin menyerahkan SKUM disertai panjar biayanya kepada Kasir. Setelah diproses, kemudian satu rangkap SKUM (warna putih) diserahkan oleh Kasir kepada Bendaharawan rutin Sebagai bukti pengeluaran untuk di-SPJ-kan. Bila Tergugat/Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama lain maka biaya panggilan untuk Tergugat/Termohon tetap dibebankan kepada Pengadilan Agama di mana perkara diajukan.

  • Petugas Buku Induk Keuangan Perkara, petugas/pemegang Buku Jurnal Keuangan Perkara dan petugas/pemegang Buku Kas Pembantu mencatat penerimaan tersebut sebagai Panjar Biaya dalam buku-buku Keuangan Perkara dimaksud. Kemudian, setelah biaya panggilan tersebut digunakan untuk memanggil para pihak, petugas/pemegang buku-buku keuangan perkara mencatat pula pengeluaran dalam buku-buku keuangan perkara dimaksud.

  • Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Majelis Hakim sebelum memeriksa pokok perkara, terlebih dahulu memeriksa permohonan berperkara secara prodeo. Pihak lawan dalam persidangan tersebut dapat menyangkal permohonan tersebut, baik dengan menyatakan bahwa permohonan tersebut.
  • Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan, menjatuhkan putusan dengan Putusan Sela (Vide : Pasal 239 ayat (1) HIR/Pasal 275 ayat (1) R.Bg.). Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.

  • Dengan salah satu alasan sebagaimana dimaksud Pasal 239 ayat (2) HIR/275 ayat (2) R.Bg., Majelis Hakim dapat menolak permohonan tersebut (Vide : Pasal 239 ayat (3) HIR/Pasal 275 ayat (3) R.Bg.).

  • Apabila permohonan prodeo tidak dikabulkan, maka dalam Putusan Selanya Majelis Hakim memerintahkan Penggugat/Pemohon untuk membayar panjar biaya perkara dengan jumlah yang akan ditaksir kemudian oleh petugas Meja Satu. Jeda waktu pembayaran diberikan selama 14 (empat belas) hari sejak dijatuhkannya Putusan Sela.

  • Apabila Penggugat/Pemohon tidak membayar panjar biaya perkara sampai batas waktu yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan, maka gugatan/permohonan Penggugat/ Pemohon dicoret dari daftar perkara.

  • Apabila permohonan prodeo dikabulkan, maka Majelis Hakim menjatuhkan Putusan Sela. Dengan dikabulkannya permohonan prodeo tersebut, Penggugat/Pemohon dibebaskan dari semua biaya perkara, dan selanjutnya biaya perkara dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama dengan mekanisme sebagai:
  1. Salinan amar Putusan Sela diserahkan Majelis Hakim kepada Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran guna pembayaran biaya perkara oleh Negara melalui mata anggaran dalam DIPA yang telah ditentukan.
  2. Panitera/ Sekretaris menyerahkan salinan amar putusan sela tersebut kepada Bendaharawan Rutin dengan perintah agar mengeluarkan sejumlah uang yang besarnya akan ditaksir kemudian oleh Petugas Meja Satu. Perintah Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran dituangkan dalam instrumen khusus.
  3. Bendaharawan Rutin menghubungi Petugas Meja Satu agar menaksir panjar biaya perkara. Setelah Petugas Meja Satu menaksir panjar biaya yang dituangkan dalam SKUM, lalu SKUM tersebut diserahkan kepada Bendaharwan Rutin.
  4. Setelah Bendaharawan Rutin menerima SKUM dari Petugas Meja Satu, lalu ia membayar panjar biaya kepada Kasir sejumlah yang tertera dalam SKUM. Setelah Kasir menerima SKUM dan pembayaran panjar biaya perkara dari Bendaharawan Rutin lalu memprosesnya sesuai tugas Kasir. Setelah diproses, kemudian Kasir menyerahkan SKUM warna putih kepada Bendaharawan Rutin dan SKUM warna putih inilah yang kemudian oleh Bendaharawan Rutin difungsikan sebagai bukti pengeluaran untuk peng-SPJ-an DIPA oleh Bendaharawan Rutin.
  5. Petugas Buku-buku Keuangan Perkara mencatat penerimaan tersebut dalam buku-buku tersebut sebagai Tambahan Panjar. Demikian juga pencatatan pengeluaran biaya dalam buku-buku tersebut dilakukan secara tertib.
  6. Apabila setelah putusan akhir dijatuhkan oleh Majelis Hakim dan ternyata ada kelebihan biaya perkara, Kasir mengembalikan kelebihan biaya perkara tersebut kepada Bendaharawan Rutin dengan kuitansi pengembalian, dan selanjutnya pengembalian sisa panjar tersebut oleh Bendaharawan Rutin disetorkan ke Kas Negara.
  7. Apabila sebelum perkara diputus, ternyata ada kekurangan biaya perkara, maka Majelis Hakim
  8. memerintahkan kepada Panitera/Sekretaris/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengeluarkan biaya perkara tambahan dengan menggunakan instrumen khusus. Mekanisme selanjutnya mengacu pada ketentuan angka 2), 3) dan 4) di atas serta ketentuan yang berlaku dalam permintaan tambahan panjar biaya perkara kepada pihak berperkara.
  9. Dalam hal Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon bertempat tinggal di luar wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan maka untuk biaya panggilan tetap dibebankan kepada DIPA Pengadilan Agama di mana perkara diajukan.
  • Apabila yang mengajukan permohonan berperkara secara prodeo adalah Tergugat, maka prosedurnya adalah sebagai berikut :
  1. Permohonan diajukan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat.
  2. Apabila permohonan beracara secara prodeo tersebut dikabulkan dan Tergugat dalam perkara tersebut dikalahkan, maka Tergugat dibebaskan dari membayar biaya perkara.
  3. Biaya perkara dibebankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama dengan cara Majelis Hakim menyerahkan salinan amar putusan kepada Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
  4. Mekanisme selanjutnya hampir sama dengan mekanisme yang telah diuraikan sebelumnya.
  5. Setelah Kasir menerima biaya perkara dari Kuasa Pengguna Anggaran melalui Bendaharawan Rutin, Kasir mengembalikan uang yang disetor Penggugat kepada Penggugat dan menerimakan uang perkara yang disetor Kuasa Pengguna Anggaran sebagai gantinya.

SYARAT - SYARAT PERKARA PRODEO

  1. Mengajukan permohonan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) tertulis atau lisan.
  2. Permohonan tersebut dilampiri Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa / Lurah yang diketahui oleh Camat.
  3. Surat Keterangan Tidak Mampu tersebut dikeluarkan oleh Kepala Desa / Lurah yang menyatakan bahwa benar
  4. pemohon tidak mampu membayar biaya perkara dan atau bukti lainnya tentang ketidakmampuannya.


SURAT EDARAN TENTANG SIDANG KELILING DAN PERKARA PRODEO

Sehubungan dengan program peningkatan pelayanan di lingkungan peradilan agama dan telah berakhirnya pelatihan “Client Service Improvement” di Australia, pada tanggal 27 Mei 2008, yang memfokuskan pada “Peningkatan Pelayanan Terhadap Pencari Keadilan dan Pengembangan Teknologi Informasi untuk Menunjang Pelaksanaan Tugas Pokok”, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

Baca Selengkapnya

27 Agustus 2008

PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (PK) :

  1. Mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah
  2. Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan/putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti adanya kebohongan/bukti baru, dan bila alasan Pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan dibawah sumpah dan disyahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004)
  3. Membayar biaya perkara PK (Pasal 70 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2004, Pasal 89 dan 90 UU No. 7 Tahun 1989).
  4. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari.
  5. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK
  6. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke MA selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  7. Panitera MA menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah.
  8. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menyampaikan salinan putusan PK kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  9. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :
  1. Permohonan PK diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara PK
  2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon PK bahwa perkaranya telah diregistrasi
  3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara PK.
  4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinaator (Askor) kepada panitera pengganti yang membantu menangani perkara PK tersebut.
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1, 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
  6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
  7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan PK

PERKARA KASASI

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Kasasi:

  1. Mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah penetapan/putusan pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  2. Membayar biaya perkara kasasi (Pasal 46 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  3. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan, selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
  4. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonannya didaftar (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  5. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  6. Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi (Pasal 47 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  7. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memorikasasi dan jawaban memori kasasi (Pasal 48 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
  8. Panitera Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk selanjutnya disampaikan kepada para pihak.
  9. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil kedua belah pihak.
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari.
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :
  1. Permohonan kasasi diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara kasasi.
  2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon kasasi bahwa perkaranya telah diregistrasi.
  3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara kasasi.
  4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada panitera pengganti yang menangani perkara tersebut.
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1, 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
  6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
  7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan kasasi.

BERPERKARA PADA TINGKAT BANDING

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah dalam tenggang waktu :
  • 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan;
  • 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tingkat pertama. (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947).

Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989).

Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947)

Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947)

Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada pihak lawan, panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di kantor pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947).

Berkas perkara banding dikirim ke pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima perkara banding.

Salinan putusan banding dikirim oleh pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk disampaikan kepada para pihak.

Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menyampaikan salinan putusan kepada para pihak.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera :
  • Untuk perkara cerai talak :
  1. Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon.
  2. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
  • Untuk perkara cerai gugat :
  1. Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA :

  1. Berkas perkara banding dicatat dan diberi nomor register;
  2. Ketua pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi membuat Penetapan Majelis Hakim yang akan memeriksa berkas;
  3. Panitera menetapkan panitera pengganti yang akan membantu majelis;
  4. Panitera pengganti menyerahkan berkas kepada ketua majelis;
  5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Tinggi;
  6. Majelis Hakim Tinggi memutus perkara banding;
  7. Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui pengadilan tingkat pertama.

26 Agustus 2008

PROSES BERPEKARA GUGATAN LAINNYA PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat :

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg)

Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah :
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat ;
  • Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat;
  • Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa pengadilan agama/mahkamah syar’iah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang dipilih oleh Penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
  • Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
  • Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
  • Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :

Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah.


Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.

Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
  • Apabila tidak berhasil,maka hakim mewajibkan kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 HIR, 158 R.Bg).

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
  • Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR,196 R.Bg).

Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tersebut.

PROSES BERPEKARA CERAI GUGAT PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada:
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah :
  • Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
  • Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
  • Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).

Permohonan tersebut memuat :
  • Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).

Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah.

Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan


Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
  • Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
  • Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

PROSES BERPEKARA CERAI TALAK PADA PENGADILAN TINGKAT I (PERTAMA)

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:

Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada:
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah :
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
  • Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).

Permohonan tersebut memuat :
  • Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).

Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.

Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.

Tahapan persidangan :
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
  • Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut;
  • Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut;
  • Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.

Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
  • Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
  • Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).

Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

REFERENSI BAGI HAKIM DALAM PENYELESAIAN MASALAH KDRT

Baca Selengkapnya

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Baca Selengkapnya

Jadwal Sidang September 2008

Senin, 01 September 2008

Selasa, 02 September 2008

  • 149/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 21/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 6
  • 158/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 22/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Wali Adal sidang ke 3
  • 77/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang 2
  • 167/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 168/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Rabu, 03 September 2008
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2

Kamis, 04 September 2008
  • 155/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 164/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1

Senin, 08 September 2008
  • 74/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 157/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 156/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 170/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 23/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 120/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 139/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
  • 100/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 121/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
Selasa, 09 September 2008
  • 133/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 7
  • 150/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 152/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 154/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 165/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 166/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 26/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 162/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 24/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 25/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Rabu, 10 September 2008
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 3

Kamis, 11 September 2008 
  • 163/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 171/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 164/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 172/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 27/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengangkatan Anak sidang ke 1

Senin, 15 September 2008
  • 174/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 74/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3 (gugur)
  • 156/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4

Selasa, 16 September 2008
  • 133/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 8
  • 162/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 167/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 168/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 131/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 176/PDt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 143/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak Pengucapan Ikrar Talak
  • 28/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 175/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Rabu, 17 September 2008


Kamis, 18 September 2008
  • 178/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 1
  • 27/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengangkatan Anak sidang ke 2

Senin, 22 September 2008
  • 82/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 170/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 29/PDt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1
  • 169/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 3
  • 116/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 5

Selasa, 23 September 2008
  • 154/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 165/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 4
  • 31/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Rabu, 24 September 2008
  • 159/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 4
  • 173/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1

Kamis, 25 September 2008
  • 163/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 171/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Talak sidang ke 2
  • 172/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 2
  • 179/Pdt.G/2008/PA.Kbr Jenis perkara Cerai Gugat sidang ke 1
  • 29/Pdt.P/2008/PA.Kbr Jenis perkara Pengesahan Nikah sidang ke 1

Senin, 29 September 2008


Selasa, 30 September 2008



Nb: Jadwal sidang lainnya menyusul

24 Agustus 2008

Panggilan ghaib An.M.Rustimal Aulia.A Bin Insinir

Panggilan berasal dari Pengadilan Agama Koto Baru Solok ditujukan kepada saudara M.Rustimal Aulia.A Bin Insinir, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta tempat tinggal terakir di Korong Garubuak Jorong Panyalai Kenagarian Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok alamat sekarang tidak diketahui di dalam wilayah republik Indonesia, sebagai Tergugat,

Baca selengkapnya

22 Agustus 2008

RUU HUKUM ACARA PERDATA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG HUKUM ACARA PERDATA

Baca Selengkapnya

PERMA No. 01 TAHUN 2008

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PERADILAN

Baca Selengkapnya

UU No.21 TAHUN 2008

UNDANG UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH

Baca Selengkapnya

UU No. 41 TAHUN 2004

UNDANG UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

Baca Selengkapnya

UU No. 1 TAHUN 1974

UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Baca Selengkapnya

PP No. 9 TAHUN 1975

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Baca Selengkapnya

UU No. 3 TAHUN 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Baca Selengkapnya

21 Agustus 2008

UU No. 7 TAHUN 1989

UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Baca Selengkapnya

UU No. 5 TAHUN 2005

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Baca Selengkapnya

UU No. 4 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Baca selengkapnya

PP NO. 53 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DI BAWAHNYA 

20 Agustus 2008

LARANGAN MAKAN DAN MINUM DI TEMPAT KEMATIAN

MAKALAH SYARH HADITS AHKAM MAUDHU’I
TENTANG MAKAN DAN MINUM DI RUMAH KELUARGA YANG DITIMPA KEMATIAN
oleh : H. FAHMI. R, MHI

A. PENDAHULUAN

Rasulullah SAW menganjurkan agar meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian. Anjuran tersebut di antaranya,

- حدثنا هشام بن عمار ومحمد بن الصباح . قالا حدثنا سفيان بن عيينة عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال: - لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( اصنعوا لآل جعفر طعاما . فقد أتاهم ما يشغلهم أو أمر يشغله . قال الشيخ الألباني : حسن
- حدثنا أبو بكر بن يعقوب بن إبراهيم البزاز ثنا بشر بن مطر ثنا سفيان عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما شغلهم أو أمر شغلهم

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa mengantarkan makanan untuk keluarga yang ditimpa musibah kematian sangat dianjurkan. Anjuran ini disebabkan keluarga yang ditimpa kematian sedang berduka sehingga sulit bagi mereka untuk menyiapkan makanan untuk anggota keluarganya.
Tetapi dalam praktek di tengah-tengah masyarakat muslim sering terjadi kebalikan dari anjuran Nabi di atas. Jika Nabi menganjurkan untuk meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah, maka praktek sebagian masyarakat justru memberatkan keluarga yang ditimpa musibah dengan menyiapkan makanan dan minuman untuk orang yang datang ketika takziah dan pada waktu-waktu lain.
Makalah yang ringkas ini membahas tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan anjuran untuk meringankan beban keluarga si mayat dan larangan memberati keluarga si mayat, di antaranya dengan mengadakan serangkaian acara yang tidak dianjurkan oleh Rasulullah SAW, serta data-data tentang tradisi-tradisi kematian di beberapa wilayah di Sumatera Barat yang penulis peroleh melalui wawancara. Makalah ini diakhiri dengan Analisa penulis dan kesimpulan.

B. Hadits-hadits Yang Berhubungan Dengan Anjuran Rasulullah untuk         Meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian.

Anjuran melakukan ta’ziyah.
-حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة . حدثنا خالد بن مخلد . حدثني قيس أبو عمارة مولى الأنصار قال سمعت عبد الله بن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم يحدث عن أبيه عن جده : - عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ( ما من مؤمن يعزي أخاه بمصيبتة إلا كساه الله سبحانه من حلل الكرامة يوم القيامة )في الزوائد في إسناده قيس أبو عمارة ذكره ابن حبان في الثقات . وقال الذهبي في الكاشف ثقة . وقال البخاري فيه نظر . وباقي رجاله على شرط مسلم

-حدثنا مالك بن إسماعيل حدثنا إسرائيل عن عاصم عن أبي عثمان عن أسامة قال: كنت عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ جاءه رسول إحدى بناته وعنده سعد وأبي بن كعب ومعاذ أن ابنها يجود بنفسه فبعث إليها ( لله ما أخذ ولله ما أعطى كل بأجل فلتصبر ولتحتسب

- أخبرنا القاسم بن عبد الله بن عمر عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جده قال : لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءت التعزية سمعوا قائلا يقول إن في الله عزاء من كل مصيبة وخلفا من كل هالك ودركا من كل فائت فبالله فثقوا وإياه


Anjuran Membuatkan Masakan Dan Mengantarkan Kepada Keluarga Yang di Timpa Musibah Kematian.
- حدثنا مسدد ثنا سفيان حدثني جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم " . قال الشيخ الألباني : حسن
- حدثنا هشام بن عمار ومحمد بن الصباح . قالا حدثنا سفيان بن عيينة عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال : - لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( اصنعوا
لآل جعفر طعاما . فقد أتاهم ما يشغلهم أو أمر يشغلهم قال الشيخ الألباني : حسن

-حدثنا يعقوب بن إبراهيم البزاز نا بشر ومطر قالا نا سفيان عن جعفر عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما يشغلهم أو أرم يشغلهم

-حدثنا أبو بكر بن يعقوب بن إبراهيم البزاز ثنا بشر بن مطر ثنا سفيان عن جعفر بن خالد عن أبيه عن عبد الله بن جعفر قال لما جاء نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم ما شغلهم أو أمر شغلهم

-أخبرنا أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو حامد أحمد بن محمد بن يحيى بن بلال البزاز ثنا يحيى بن الربيع المكي ثنا سفيان عن جعفر عن أبيه عن عبد الله بن جعفر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهن ما يشغلهن أو أتاهم ما يشغلهم جعفر هذا هو بن خالد بن سارة مخزومي


Larangan Makan dan Minum di Rumah Keluarga Yang Dtimpa Musibah Kematian.
- حدثنا مسدد حدثنا عبد الوارث عن أيوب عن حفصة عن أم عطية قالت : بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم فقرأ علينا { أن لا يشركن بالله شيئا } . ونهانا عن النياحة فقبضت امرأة منا يدها فقالت فلانة أسعدتني وأنا أريد أن أجزيها . فلم يقل شيئا فذهبت ثم رجعت فما وفت امرأة إلا أم سليم وأم العلاء وابنة أبي سبرة امرأة معاذ أو ابنة أبي سبرة وامرأة معاذ


-حدثنا محمد بن يحيى . قال حدثنا سعيد بن منصور . حدثنا هشيم . ح وحدثنا شجاع بن مخلد أبو الفضل . قال حدثنا هشيم عن إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازم عن جرير بن عبد الله البجلي قال : - كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة في الزوائد إسناده صحيح . رجال الطريق الأول على شرط البخاري . والثاني على شرط مسلم ش ( كنا نرى ) هذا بمنزلة رواية إجماع الصحابة رضي الله عنهم أو تقرير النبي صلى الله عليه وسلم . وعلى الثاني فحكمه الرفع . وعلى التقديرين فهو حجة .

-حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا نصر بن باب عن إسماعيل عن قيس عن جرير بن عبد الله البجلي قال : كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعه الطعام بعد دفنه من النياحة تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح ... والحديث من مسند جرير بن عبد الله البجلي والإمام أحمد ذكره هنا ثم لم يذكره في مسند جرير


-أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن أبان نا وكيع حدثني إسحاق بن عثمان الكلابي حدثني إسماعيل بن عبد الرحمن بن عطية الأنصاري حدثتني جدتي : أن النبي الله لما جمع نساء الأنصار في بيت فأتانا عمر فقام على الباب فسلم فرددنا عليه السلام فقال : أنا رسول رسول الله صلى الله عليه و سلم إليكن فقلنا مرحبا برسول الله و رسوله قال : أتبايعن على أن لا تشركن بالله شيئا و لا تسرقن و لا تزنين ؟ قالت فلنا : نعم فمددنا أيدينا من داخل البيت و مد يده من خارج قالت : و أمرنا أن نخرج الحيض و العواتق في العيدين و نهينا عن اتباع الجناز و لا جمعة علينا قال : قلت لها : ما المعروف الذي نهيتن عنه ؟ قالت : النياحة

-حدثنا وكيع عن مالك بن مغول عن طلحة قال قدم جرير على عمر فقال هل يناح قبلكم على الميت قال لا قال فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام قال نعم فقال تلك النياحة



ANALISA PENULIS
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW di atas dapat diklasifikasikan kepada tiga bahagian.

Tentang Ta’ziyah.
Bahagian pertama anjuran Rasulullah SAW untuk meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian. Di antara cara meringankan beban tersebut adalah dengan melakukan takziah.
Sebagaimana hadits Amar Ibn Hazam di atas, Rasulullah bersabda ” Tidak seorang mukmin pun yang datang berta’ziah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah di hari kiamat”.
Hadits ini menggambarkan bahwa ta’ziah dapat dilakukan dengan cara berkunjung ke rumah duka dan dapat pula dilakukan dengan memberikan ucapan sabar dan hiburan lain walaupun tidak datang ke rumah duka. Sebagaimana hadits Usamah, pesan Rasulullah agar disampaikan kepada keluarga yang ditimpa musibah, ” Dan milik Allah apa yang diambil –Nya dan yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu memiliki jangka waktu tertentu, maka hendaklah bersabar dan menabahkan hati !”.
Berdasarkan kedua hadits ini dapat dinyatakan, bahwa ta’ziah adalah suatu ibadah yang dianjurkan, baik datang lansung ke rumah keluarga yang berduka maupun dengan titipan pesan. Lafaz yang dibaca ketika ta’ziyah tidak ditentukan oleh Nabi , tetapi pesan kesabaran dan pengembalian (istirja’) sering diucapkan oleh Nabi SAW.
Adapun berdzikir di rumah orang kematian itu Nabi SAW dan para sahabat tidak pernah menjalankannya atau memerintah supaya dikerjakannya.
Dari hadits-hadits tentang ta’ziyah di atas, terlihat bahwa tidak ada Nabi menyuruh untuk mengadakan acara khusus tentang ta’ziah, apalagi sudah menyibukkan dan menyusahkan keluarga yang berduka.

Anjuran Mengantarkan Makanan.
Berdasarkan kelima hadits Ja’far yang penulis cantumkan dalam makalah ini, dapat dinyakan bahwa Nabi SAW sangat menganjurkan agar meringakan beban keluarga yang ditimpa musibah dengan mengantarkan makanan atau apa saja yang dapat meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah.
Makanan yang terdapat dalam hadits di atas hanya sebagai salah satu contoh yang dibutuhkan, mungkin ada hal- hal lain yang bisa diberikan oleh tetangga dan masyarakat lainnya, seperti biaya tajhiz (penyelenggaraan jenazah).
Dari kelima hadits tersebut, tidak ada Nabi menganjurkan agar makanan yang dibawa ke rumah duka dimakan bersama-sama di rumah tersebut.

Larangan Makan dan Minum di Rumah Keluarga Yang Ditimpa Musibah Kematian.
Berdasarkan hadits-hadits Nabi di atas dapat dinyatakan bahwa orang-orang yang bersama makan di rumahnya ahlul-maiyit, hukumnya sebagaimana yang tersebut di bawah ini :
-حدثنا محمد بن يحيى . قال حدثنا سعيد بن منصور . حدثنا هشيم . ح وحدثنا شجاع بن مخلد أبو الفضل . قال حدثنا هشيم عن إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازم عن جرير بن عبد الله البجلي قال : - كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة في الزوائد إسناده صحيح . رجال الطريق الأول على شرط البخاري . والثاني على شرط مسلم ش ( كنا نرى ) هذا بمنزلة رواية إجماع الصحابة رضي الله عنهم أو تقرير النبي صلى الله عليه وسلم. .

“ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahya, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id Ibn Mansur, dia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim, dia berkata telah menceritakan kepada kami Syuja’ Ibn Mukhallid Abu al- Fadl, dia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim dari Ismail Ibn Abi Khalid dari Qays Ibn Abi Hazm dari Jarir Ibn Abdillah al- Bajally, dia berkata bahwa kami menganggap bahwa berkumpul di tempat keluarga si mayid dan menyediakan makanan adalah bagian dari meratap. Sanad hadits ini adalah sahih. Turuq rawi yang pertama adalah turuq yang dirawikan oleh Bukhari dan Turuq yang kedua adalah turuq yang dirawikan oleh Muslim. Kalimat كنا نرى tersebut berarti menurut riwayat ijma’ sahabat atau merupakan taqrir (ketetapan) dari Nabi SAW ”.

Demikian juga dengan hadits Jarir dengan Umar RA,

-حدثنا وكيع عن مالك بن مغول عن طلحة قال قدم جرير على عمر فقال هل يناح قبلكم على الميت قال لا قال فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام قال نعم فقال تلك النياحة

“Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Malik Ibn Maghul dari Talhah, dia berkata, bahwa Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya, “Apakah masih ada yang meratapi terhadap jenazah sebelum kamu?. Jarir menjawab, “Tidak”. Lalu Umar berkata, Apakah masih ada perempuan yang berkumpul di rumah keluarga jenazah dan membuat makanan?”. Jarir menjawab, “Ya!”. Umar berkata, maka yang demikian itu adalah ratapan”.

Apabila berkumpul dan menyediakan makanan meruapakan bagian dari meratap, maka bila meratap dilarang oleh Nabi SAW maka berkumpul dan menyediakan makanan pun dilarang. Sebagaimana hadits Ismail Ibn Abdurrahman Ibn Athiyyah al- Anshary berikut :
-أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن أبان نا وكيع حدثني إسحاق بن عثمان الكلابي حدثني إسماعيل بن عبد الرحمن بن عطية الأنصاري حدثتني جدتي : أن النبي الله لما جمع نساء الأنصار في بيت فأتانا عمر فقام على الباب فسلم فرددنا عليه السلام فقال : أنا رسول رسول الله صلى الله عليه و سلم إليكن فقلنا مرحبا برسول الله و رسوله قال : أتبايعن على أن لا تشركن بالله شيئا و لا تسرقن و لا تزنين ؟ قالت فلنا : نعم فمددنا أيدينا من داخل البيت و مد يده من خارج قالت : و أمرنا أن نخرج الحيض و العواتق في العيدين و نهينا عن اتباع الجناز و لا جمعة علينا قال : قلت لها : ما المعروف الذي نهيتن عنه ؟ قالت : النياحة
Namun dalam kenyataannya, praktek di tengah-tengah masyarakat justru berlainan dengan hadits-hadits di atas. Berikut akan penulis sampaikan hasil wawancara dengan beberapa orang pegawai Pengadilan Agama Koto Baru Solok.


PRAKTEK SEBAGIAN MASYARAKAT DI SEBAGIAN WILAYAH SUMATERA BARAT.
Data-data ini penulis dapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang yang berasal dari berbagai wilayah di Sumatera Barat. Tujuan wawancara ini adalah untuk memperkaya materi makalah ini, sehingga praktek yang dilakukan oleh masyarakat dapat dianalisa dengan hadits-hadits Nabi SAW.

Praktek yang dilakukan di daerah Gurun Lawas Kenagarian Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan.
  • Takziah selama tiga hari setelah mayat terkubur. Acara ini dilakukan dengan cara masyarakat datang ke rumah duka beramai-ramai. Di rumah tersebut orang yang datang akan membaca yasin, bertahlil, dan berdoa untuk si mayat.
  • Pada hari ketiga diadakan acara berdoa yang dipimpin oleh seorang buya. Acara ini disediakan makanan dan minuman, seperti air teh dan Lapek Kareh.
  • Pada hari ketujuh dilakukan lagi pengajian yang juga disediakan minuman dan makan oleh tuan rumah.
  • Pada hari ke-14, keluarga (sumandan) membawa nasi dan makanan lainnya ke rumah duka. Kemudian dimakan bersama-sama di rumah tersebut.
  • Pada hari ke-40. Seminggu sebelumnya dilakukan acara mamarik kuburan yang juga disediakan makan dan minum oleh tuan rumah.
  • Pada hari ke 100, diadakan acara berdoa seperti sebelumnya. Tetapi diadakan acara membuat lamang.
  • Seluruh biaya yang dikeluarkan berasal dari keluarga ditambah dengan sumbangan dari masyarakat melalui celengan yang diletakkan dipinggir jalan di depan rumah kematian.
Praktek yang dilakukan di sebagian daerah Tanah Kampung Kecamatan Sitinjau Laut (sekarang Kec. Tanah Kampung) Kerinci.
  • Tujuh hari sejak terkubur dilakukan ta’ziah. Acara ini bagi keluarga yang mampu diadakan secara besar-besaran dengan menyemblih sapi atau hewan ternak lainnya.
  • Adat-adat seperti ini dilakukan sampai hari ke-40.
  • Perkiraan biaya yang dikeluarkan lebih kurang Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Praktek di Daerah Cupak, Selayo, dan Koto Baru Solok.
  • Hari 1, orang-orang yang terlibat dengan pelaksanaan jenazah disediakan makan oleh tuan rumah.
  • Setelah lewat tiga hari, diadakan acara dulang Bakirai. Yaitu pihak keluarga istri yang ditinggal mati oleh suami datang ke rumah keluarga suami membawa makanan.
  • Pada hari ketujuh dilakukan berdoa dengan memanggil tetangga. Acara ini juga disediakan makan dan minum oleh keluarga.
  • Selanjutnya hari ke 10, 20, 30, 40, 50, 60 S/d hari ke-100 diadakan acara bedoa dengan memberi kepada buya yang mendoa oleh-oleh, seperti payung, kasur, pakaian dan lain sebagainya.
  • Seluruh biaya ditanggung oleh keluarga ditambah dengan bawaan oleh keluarga yang datang.
  • Untuk menutupi biaya ini tidak jarang pihak keluarga yang berduka meminjam uang bahkan menggadai.

Dari hasil wawancara ini tergambar bahwa sampai saat ini di sebagaian wilayah Sumatera Barat, masih dilakukan tradisi-tradisi kematian yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Bahkan dari beberapa responden yang penulis wawancarai ternyata semuanya mengatakan bahwa tradisi-tradisi yang tidak pernah disuruh oleh Rasulullah dan Sahabat masih dilakukan sampai sekarang. Apalagi bila yang meninggal adalah penghulu suku atau orang yang tergolong kaya atau mampu dengan biaya untuk mengadakan acara yang besar-besaran, seperti menyemblih sapi dan lain sebagainya.
Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa berlaku di sebagaian wilayah Sumatera Barat ini, hukumnya bid'ah ; dan bid'ah yang tersebut itu seringkali mencelakakan orang-orang yang tidak mampu yang terkadang menjual barang-barangnya atau menggadaikannya atau meminjam uang guna mengadakan selamatan, sehingga dengan hal ini mereka bisa menjadi tambah susah dan tambah miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras, bahwa orang yang susah itu tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangan yang bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi s.a.w. menyuruh supaya ahlulmaiyit itu diberi makanan yang cukup.

PENUTUP
Akhirnya makalah ini penulis tutup dengan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Ta’ziyah hukumnya adalah sunat. Tetapi ta’ziyah yang menyabarkan keluarga sehingga beban fikirannya semakin berkurang dan sabar serta tawakkal dalam menerima musibah. Ta’ziyah tidak dibenarkan dengan membuat serangkaian acara yang tidak disuruh oleh Rasulullah, apalagi menyibukkan dan memberatkan keluarga si mayit.
  2. Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa menurut sunnah, hendaklah ahlulmaiyit itu diberi makanan, bukan mereka yang mesti memberi makanan, sebagaimana keadaan yang berlaku sekarang ini.
  3. Telah terbukti dari riwayat di atas, bahwa sekalian Sahabat telah mufakat atas melarang orang-orang berkumpul dan makan-makan di rumah ahli maiyit, keadaan yang sedemikian itu dinamakan oleh mereka r a t a p a n, sedang meratap itu, hukumnya haram.



ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK

ISLAM DAN NASIONALISME DALAM KONSTELASI POLITIK
(Disampaikan dalam perkuliahan Hukum Ketatanegaraan Dalam Islam
Pada program Pasca sarjana S3 UMSB Padang 2008 oleh H. FAHMI. R, MHI)




Nurchalish Madjid mengungkapkan bahwa, “ Dari tindakan yang lebih principal, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara Negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi… antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam cara pendekatannya. Karena suatu Negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual, guna mengurus dan mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya, maka tak mungkin pula memberikan prediket keagamaan kepada Negara.

Gagasan-gagasan pembaharuan yang dilontarkan oleh Nurchalish itu segera mendapatkan berbagai tanggapan, baik dari kalangan intelektual muda Islam maupun para seniornya. Dari kalangan muda yang memberi tanggapan antara lain Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metarium, dan Abdul Qadir DJaelani. Sementara dari angkatan tua adalah Prof. M. Rasyidi, Muhammad Natsir, dan juga Hamka.
Gagasan ini lebih dikenal dengan gagasan sekularisasi. Gagasan ini juga berimplikasi terhadap paham nasionalis. Sehingga Nasionalime juga menjadi dua kubu, yaitu nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler.
Nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang selalu menjadi dua kubu yang berseteru. Bahkan menurut Mark Juergensmeyer (seorang sarjana Amerika) kedua kubu ini tidak akan pernah bisa disatukan atau dikompromikan sampai kapanpun.
Makalah ini akan menyajikan tentang pengertian nasionalisme, latarbelakang munculnya, Islam dan Negara nasional, dan nasionalisme di Indonesia (nasionalisme religius versus nasionalisme sekuler).

Pengertian Nasionalisme.
Nasionalime secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yakni dari kata nation yang berarti bangsa. Dalam pengertian politik, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Nation dalam konteks political science ini yang dimaksud sebagai kajian pokok tentang nasionalisme.
Lebih lanjut dalam Enciklopaedia of Social Science, Nasionalisme dinyatakan sebagai suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan kekuasaan).

Latar Belakang Timbulnya Nasionalisme.
Nasionalisme pada mulanya merupakan konsep mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan, selain juga sebagai gejala awal modernisme bersamaan runtuhnya imperium kekaisaran di berbagai belahan dunia, seperti sistem kekhalifahan yang berakar di Timur Tengah dan merembes memasuki wilayah Eropa.
Dalam teori politik, manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa, dan nasionalisme sebagai nilai rohaniah mendorong kehendak untuk hidup dan survive sebagai suatu bangsa yang bersatu berdaulat. Hal ini mendorong dinamika keberagamaan menjadi sangat intens dan kritis.
Negara-negara yang pada mulanya lahir dalam konteks keagamaan mulai menampilkan unsur baru nasionalitas tersebut. Dalam nasionalisme terdapat suatu kemauan yang kuat untuk bersatu dalam bidang politik dalam suatu negara kebangsaan (nasional). Rasa nasionalisme itu sudah dianggap muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama mendirikan suatu negara kebangsaan. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib, dan patriotisme kemudian bersatu dan melahirkan rasa nasionalisme.
Nasionalisme, dalam analisis historikal, lebih awal berkembang di Barat. Nasionalisme memang merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai kapan persis muncul dan berkembangnyan. Ada pandangan yang mengatakan bahwa nasionalisme pertama kali muncul di Inggris, pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Selain itu ada persepsi yang mengatakan manifestasinya pertama kali muncul di Amerika Utara. Meskipun demikian, ada kesamaan persepsi tentang munculnya nasionalisme itu berawal dari Barat, kemudian menyebar ke Timur.
Dalam historisitas politik, nasionalisme muncul sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan imperialisme Barat, terutama sejak revolusi Perancis secara revolusioner meluaskan penetrasinya ke berbagai bangsa di permukaan bumi ini.
Nasionalisme Barat mengandung prinsip demokrasi prinsip demokrasi yang muncul dari Perancis. Nasionalisme yang pada mulanya melahirkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi suatu policy yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas dasar humaniter.
Persaingan antar negara-negara kebangsaan di Eropa, kemudian berkembang memperebutkan negeri-negeri jajahan. Penjajahan ini menimbulkan gerakan nasional di Negara-negara jajahan. Perjuangan menentang penjajahan itu muncul dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan tujuan gerakan nasionalisme yang hampir selalu searah di Negara jajahan.

Islam dan Negara Nasional. 
Bangsa (nation) adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kitab suci al- Quran pun mengatakan dengan jelas bahwa :
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya kami telah menciptakan kamu kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu dapat saling berta’aruf. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang lebih bertaqwa di antara kamu”.
Syu’ub artinya adalah bangsa dan qabail artinya adalah suku. Namun yang paling penting adalah lita’arafu. Dengan demikian tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis dalam pengertian seperti itu. Karena al-Quran sendiri bilang seperti itu.
Nurchalish Madjid pada akhir wawancara eksklusifnya menjelaskan, bahwa umat Islam tidak perlu menuntut Negara atau pemerintah ini menjadi Negara atau pemerintah Islam. Baginya yang penting adalah isi atau substansinya, bukan untuk formalnya. Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi boleh Negara ini apa pun bentuknya, tetapi values atau nilai-nilai yang dijalankan adalah nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah, yang diridhai Allah. Negara yang diridhai Allah. Negara yang seperti ini dapat ditumbuhkan melalui pendekatan cultural, pendekatan budaya dalam arti seluas-luasnya. Termasuk dalam pendidikan, dakwah, kesenian, dan di antara yang terpenting adalah dinamika inteletual.
Senada dengan Nurchalis Madjid, Abdurrahman Wahid juga berpendapat bahwa dalam Islam Negara itu adalah hukum (al-hukm), dan sama sekali tidak memiliki bentuk Negara. Yang penting bagi Islam etika kemasyarakatan dan komunitas. Alasannya, Islam tidak memiliki konsep pemerintah yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok, yakni suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlu al-hally wa al- ‘aqdy. Padahal, soal suksesi adalah masalah yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Kalau memang Islam punya konsep, tentu tidak terjadi demikian.
Alasan yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid adalah firman Allah di atas juga. Menurutnya, ayat di atas sudah eksplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian, sebenarnya tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi dia mengakui, pengertian bangsa dalam rumusan al-Quran di atas terbatas hanya pada sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial bersama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini pengertiannya sudah lain, yakni satuan politis yang didukung oleh ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep Negara- bangsa (nation-state). Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global merupakan nation-state.
Berangkat dari pendapat Nurchalis Madjid dan Abdurrahman Wahid ini dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk Negara yang digunakan.
Pemikiran yang berseberangan dengan dua tokoh di atas adalah pikiran Abu al-A’la al- Maududi yang mendapat empati dari Amin Rais yang menawarkan teori Negara Islam dan sistem khilafah. Menurut Dawam Raharjo salah seorang pemikir transformis, “Baik Maududy maupun Amin Rais terjebak dalam perangkap konstruk Negara Ideal seperti yang pernah dikemukakan oleh Supomo pada tahun 1945. Menurut D. Raharjo Konsep Negara Islam adalah salah satu jenis konstruk ideal yang bersifat totaliter dan elitis.
Menurutnya, dalam konsep seperti ini elitnya adalah mereka yang dinilai paling mengetahui tentang hokum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cendrung bertindak atas nama Tuhan, seperti mereka mengambil alih kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan Negara, memikul tugas khilafah.
Dengan pandangan ini D. Raharjo ingin menghindarkan umat Islam dari sikap formalistic dalam memahami teori dan konsepsi kenegaraan. Baginya, umat Islam perlu bersikap objektif terhadap eksistensi Negara nasional dan yang lebih penting lagi adalah memberikan respon konkrit, baik melalui tindakan nyata maupun konsepsi yang realistik bagi kepentingan umat Islam.
Sebaliknya konsep Negara bangsa atau Negara nasional juga dapat menghancurkan visi universalisme Islam. Tetapi kenyataan dengan adanya Negara bangsa adalah keharusan sejarah yang harus dilalui. Bahkan mungkin dalam perjalanan jangka panjang. Namun Syafii Maarif menyatakan bahwa sistem Negara bangsa tidak akan bertahan dalam masyarakat Islam karena kehadiran sistem ini tidak sepenuhnya diakui oleh ajaran Islam yang memandang semua mereka yang beriman adalah bersaudara. Sedangkan sistem Negara bangsa atau Negara nasional bila tidak hati-hati menanganinya menjurus kepada pendewaan terhadap bangsa atau Negara.
Namun dengan argumennya itu Syafi’I seperti dikatakannya sendiri, bukan berarti tidak setuju dengan Negara bangsa atau Negara nasional tersebut. Yang ingin ditegaskannya, sistem Negara kebangsaan yang berkembang di dunia Islam jangan sampai menghancurkan prinsip persaudaraan umat yang menjadi bagian dari imannya itu. Oleh karenanya, dalam suatu Negara nasional, prinsip universalisme Islam haruslah selalu menyinari politik luar negeri dari bangsa itu, khususnya terhadap negeri-negeri Islam yang lain, agar nasionalime di negeri Muslim tidak semacam agama semu.

Nasionalisme di Indonesia (Nasionalisme Religius VS Nasionalisme Sekuler) 
Pergerakan nasional di Indonesia, versi Hatta, dimulai dari beberapa orang, kemudian diikuti oleh pergerakan rakyat mencapai kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Atas dasar ini, terlihat nasionalisme Indonesia pada mulanya sebagai nasionalisme yang anti imperialisme dan kolonialisme. Pada mulanya perkembangan nasionalisme di Indonesia lebih bercorak nasionalisme kultural yang berdasarkan ikatan kesamaan budaya lokal dan daerah. Nasionalisme dalam pengertian politik muncul beriringan setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan Sarikat Islam (SI) kepada H. Oemar Said Tjokroaminoto pada bulan Mei 1912 yang merubah sifat Sarikat Islam dan memperluas gerakannya. Dalam waktu yang bersamaan, organisasi Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda muncul pula sebagai organisasi-organisasi lainnya seperti PNI di Bandung pada tahun 1927. Corak nasionalisme dalam perkembangannya di Indonesia ternyata mengiringi latar belakang pemikiran kepercayaan kultur bangsa Indonesia untuk menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda.
Ketika proses awal pembentukan Negara Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah, ternyata persoalan yang paling krusial adalah menyepakati dasar Negara. Perbedaan paham di kalangan kaum pergerakan nasional Indonesia makin kentara, terutama antara kelompok Islam versus nasionalis. Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) permasalahan pokok yang menjadi polemik politik tatkala ada pembicaraan tentang dasar Negara tersebut. Kelompok Islam politik berupaya menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal ini tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis. Perdebatan menunjukkan tentang masalah agama dan Negara, yang bahkan telah terjadi antara Soekarno dan Natsir sebelum Indonesia merdeka.
Kelompok Islam politik menekankan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari Negara. Urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral dengan Islam. Sedangkan kalangan nasionalis mendukung gagasan pemisahan agama dari Negara. Agama sebagai aturan-aturan spiritual (akhirat) dan agama adalah masalah duniawi (sekuler).
Perdebatan ini terus bergulir sampai pada piagam Jakarta. Resolusi konflik ideologis kemudian diretas oleh Mohammad Hatta, sebagai upaya menjamin persatuan bangsa dalam masa-masa gawat dan sulit dihadapi dan menghindarkan adanya sesuatu dalam konstitusi yang menebur benih perpecahan.
Perdebatan antara kelompok Islam dengan nasionalisme, sebagai kekuatan ideologi yang berbeda, juga muncul pada masa orde baru dan era berikutnya. Perbedaan tersebut tidak lepas dari kutub pemikiran mengenai hubungan agama dengan Negara. Hubungan agama dengan Negara di Indonesia seakan menjadi perdebatan sepanjang sejarah.
Pernyataan Efrinaldi ini agaknya sesuai dengan pertanyaan yang pernah diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer. Yaitu “apakah pertentangan antara nasionalime religius dan nasionalisme sekuler akan memanas menjadi perang dingin baru?”. Demikian pertanyaan Mark Juergensmeyer. Dalam bukunya The New Cold War? Religius Nasionalism Confronts the Sekuler State?
Sarjana Amerika ini tidak memberikan jawaban yang tegas dalam bukunya ini. Tetapi cukup baik untuk disimak. Menurutnya, jika tidak ada kompromi antara kedua kubu tersebut (nasionalme religius dan nasionalisme sekuler), maka situasi dunia yang akan datang akan jauh lebih buruk dibanding masa lalu. Dan rasa permusuhan yang tertanam akan jauh lebih melebihi rasa permusuhan global dalam perang dingin.
Secara diam-diam perseteruan seperti ini terus berlanjut di Indonesia. Yaitu kian mengerasnya polarisasi antara kubu nasionalime sekuler dengan nasionalisme religius.
Hal ini terlihat dari pengelompokkan sejumlah partai berbasis Islam sebelum pemilu berlansung di satu sisi dengan sistem stembuss accord (penggabungan suara), dan hal yang sama yang dilakukan sejumlah partai berbasis ideologi nasionalisme di sisi lain, telah mengawali polarisasi tersebut. Sehingga tak kurang dari Amin Rais, Ketua umum Partai Amanah Nasional (PAN), pernah merisaukan kecendrungan pengkubuan tersebut yang menurutnya tidak produktif bagi tujuan-tujuan reformasi, bahkan bisa menghambat proses demokratisasi secara keseluruhan. Itulah sebabnya Amien dengan PAN yang dipimpinnya mencoba berdiri di tengah-tengah. Ia melakukan komunike bersama dengan PKB dan PDI Perjuangan dari kubu nasionalisme tapi juga melakukan hal yang sama dengan PPP dan Partai Keadilan dari kubu Islam.
Maka terbitlah kecurigaan dari sebagian pengamat bahwa apa yang dilakukan oleh Amien tak lebih ialah suatu “langkah politis” dimana ia ingin memperoleh simpati dari kalangan nasionalis, dan pada saat bersamaan tidak ingin kehilangan dukungan dari Islam. Sikapnya yang “sulit” itu menempatkan menempatkan partainya (PAN) pada posisi yang hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu, karena dianggap “tidak tegas” dan “terlalu fleksibel”, sehingga terkesan “tidak punya sikap”. Hasil pemilu yang selalu menempatkan PAN sebagai partai yang “tidak besar” tetapi juga “tidak kecil” (suatu perolehan yang cukup pantas untuk sebuah partai baru).
Pergulatan tersebut sampai sekarang akan terus berlanjut. Sampai suatu saat kesadaran dan kedewasaan para pemikir dari kedua kubu (nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler) saling memberikan solusi yang tidak merugikan salah satu pihak.

Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
  • Perbedaan paradigma tentang hubungan agama dan Negara berimplikasi terhadap prinsip kebangsaan (nation), yaitu antara nasionalis religius dan nasionalis sekuler;
  • Perseteruan antara kedua kubu ini akan terus berlanjut sampai antara kedua kubu mempunyai win-win solution yang tidak merugikan salah satu pihak. Amin.

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

Makalah ini untuk diseminarkan dalam mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum Islam pada Program Pascasarjana S3 Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat Oleh Fahmi. R


A. Pendahuluan.

Gagasan rekatualisasi hukum Islam ini mulai dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985. Pada waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras.
Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adsanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.
Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa' ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari pada hak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau menjadi menteri agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Quran tersebut. Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara faraidh, ahli waris tidak mau melaksanakannya, tetapi mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai dengan faraidh. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa yang enggan melaksanakan fatwa waris di Pengadilan Agama dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu telah membudaya pula penyimpangan tidak lansung dari ketentuan al-Quran tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini memang secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran di atas. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul? Apakah tindakan-tindakan itu tidak termasuk kategori helah atau main-main dengan agama?
Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir, kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan faktor-faktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidh.
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi hukum Islam.
Pengaruh ini juga terlihat dengan adanya pengahalalan homoseksual oleh seorang Profoser UIN Jakarta. Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam 'recognizes homosexuality' (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”
Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).
Makalah ini akan menjelaskan makna reaktualisasi hukum Islam dan perlukah rekatualisasi hukum Islam?. Pembahasan ini akan dilihat dari paradigma Islam.
B. Munawir dengan Reaktualisasi Ajaran Islam
Atas ide reaktualisasi ajaran Islam ini, Munawir dianggap sebagai Ibnu Amatillah., karena Ibnu Amatillah telah melontarkan ide ini jauh sebelum Munawir melontarkannya. Hal ini terjadi ketika BJ Boland, seorang sarjana Belanda yang dikenal simpati terhadap Islam, pernah terheran-heran ketika ia menemukan sebuah makalah pada tahun 1950 berjudul Analyse Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam. Penulis makalah itu bernama Ibnu Amatillah, seorang yang sama sekali tak dikenal karena tak pernah didengar dalam dunia tulis- menulis pada masa itu.
Makalah yang terbit di Semarang itu tentu saja mengherankan Boland karena menurut penelitiannya, yang kemudian ia tuangkan dalam karya klasiknya The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), karya-karya tentang hubungan Islam dan negara yang ditulis oleh orang Islam di Indonesia pada masa itu berujung pada satu kesimpulan, yakni pentingnya mendirikan negara Islam dan wajibnya kaum Muslim mendukung gagasan ini.
Tetapi, karya Ibnu Amatillah itu merupakan pengecualian yang aneh. Aneh karena kesimpulan makalah itu mempertanyakan gagasan "negara Islam" yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh kaum Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Masyumi. Lebih aneh lagi, gagasan itu datang dari seorang yang memiliki nama santri.
Perlu diketahui, pada tahun 1950-an sikap politik kaum Muslim di Indonesia secara umum bisa dibedakan antara mereka yang mendukung gagasan negara Islam (atau negara berbasis Islam) dan mereka yang menolak gagasan tersebut. Umumnya, kelompok pertama diwakili oleh- meminjam kategorisasi Clifford Geertz-kaum santri yang secara politik diwadahi oleh Partai Masyumi dan setelah tahun 1952 juga oleh Partai NU, sementara kelompok kedua diwakili oleh kaum abangan seperti Soekarno dan Soepomo.
Ibnu Amatillah jelas-jelas mengaku sebagai seorang santri, berasal dari latar belakang santri, dan menggunakan argumen-argumen agama yang sangat tangguh. Ini yang membuat Boland terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang yang tumbuh dan besar dalam lingkungan santri memiliki pandangan semacam itu?
Dalam karya klasiknya itu, Boland tidak mengungkapkan siapa gerangan Ibnu Amatillah. Nama ini tetaplah sebuah misteri yang tak diketahui orang. Bagi kebanyakan pembaca karya Boland itu, termasuk saya, Ibnu Amatillah tetap merupakan seseorang yang sama sekali anonim.
Kontekstualisasi Ajaran Islam yang ada di dalam rak buku saya. Buku tebal ini merupakan kumpulan tulisan untuk menyambut ulang tahun Pak Munawir yang ke-70 sekitar 9 tahun lalu.
Tiba-tiba, dalam sebuah tulisan di buku itu, saya menemukan informasi yang menguak misteri Ibnu Amatillah. Saya terkejut karena ternyata Ibnu Amatillah itu adalah nama samaran Pak Munawir, yang ketika menulis brosur setebal 80 halaman itu masih berusia sekitar 20 tahun.
Penggunaan nama samaran Ibnu Amatillah sangat bisa dipahami. Wacana pemikiran politik Islam pada tahun-tahun itu didominasi oleh satu pandangan yang sangat kuat di kalangan santri Muslim, yakni keinginan untuk mendirikan negara Islam. Merupakan tindakan "bunuh diri" jika dalam suasana panas seperti itu ada seorang anggota santri secara terang-terangan mengikrarkan penolakannya.
Respons-respons terhadap Ibnu Amatillah yang hampir seluruhnya bernada kecaman akhirnya hanya menembak angin. Para pendukung negara Islam seperti Muhammad Natsir dan Zainal Abidin Ahmad (keduanya tokoh penting Masyumi), yang sempat membaca tulisan Ibnu Amatillah itu, hanya bisa mengurut dada sambil menggerutu betapa telah "menyimpangnya" penulis ini.
Sekitar 30 tahun kemudian, Ibnu Amatillah muncul lagi. Kali ini dengan nama sebenarnya: Munawir Sjadzali. Sama seperti sebelumnya, ia kembali mengguncang wacana pemikiran Islam di Indonesia. Dengan gagasan "reaktualisasi" dan kritik terhadap negara Islam (yang ia uraikan dengan sangat baik dalam bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran), ia menjadi sasaran tembak dari kalangan Islam konservatif yang anti terhadap kemajuan.
Tentu saja, bukan karena pada tahun 1980-an itu Pak Munawir sudah menjadi seorang Menteri Agama sehingga dia tak perlu lagi takut menggulirkan ide kontroversialnya, tapi karena zaman memang sudah benar-benar berubah. Pada tahun 1950-an-lewat Ibnu Amatillah-ia benar- benar sendirian. Tapi 30 tahun kemudian, di belakangnya adalah orang- orang pintar yang semua berasal dari latar belakang santri. Sebut saja Nurcholish Madjid, M Syafii Maarif, M Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Semuanya adalah tokoh-tokoh Islam sekelas dengan M Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Muhammad Roem, dan Wahid Hasjim pada era tahun 1950-an.
Nurcholish Madjid sejak tahun 1970 secara konsisten menggempur sendi-sendi bangunan negara Islam, begitu juga M Syafii Maarif, yang meski merupakan seorang anak Masjumi, tapi sangat kritis terhadap "teologi politik" para pendahulunya itu yang dinilainya sangat formalistis, ideologistis, dan tidak substansialis. Pada tahun 1982 Amien Rais, lebih dari yang lainnya, secara tegas dan tak sembunyi-sembunyi melontarkan pernyataan "tidak ada negara Islam". Sementara Abdurrahman Wahid, setelah menolak negara Islam, mengikrarkan diri menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Zaman memang sudah benar-benar berubah. Para tokoh-tokoh santri yang pada tahun 1950-an mendukung gagasan negara Islam, 30 tahun kemudian, berubah 360 derajat menjadi para penolak gagasan itu. Yang menarik untuk dicatat di sini adalah bahwa sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia bergulir dari arah yang eksklusif dan monolitik ke arah yang inklusif dan pluralistik.
Yang lebih menarik lagi, sikap politik itu tak hanya sebatas wacana pemikiran yang bersifat teoretis, tapi juga terefleksikan dalam sikap politik kaum Muslim secara nyata. Di masa silam kaum Muslim yang berlatar belakang santri berafiliasi hanya kepada partai Islam, baik itu Masyumi, NU, maupun PSII. Tapi sekarang, orang-orang berlatar belakang santri bisa ditemukan di semua partai politik, termasuk partai-partai "sekuler" seperti PDI-P dan Partai Golkar.
Di tengah proses perubahan paradigma itu, Pak Munawir memainkan peranan yang sangat penting. Secara konsisten ia menolak gagasan negara berlandaskan agama (Islam). Seperti yang ia ungkapkan kemudian dalam salah satu tulisannya, Indonesia akan lebih baik dengan bentuk negara yang terbuka dan plural, dan bagi kaum Muslim sendiri, kepentingan-kepentingan mereka terbukti lebih banyak terpenuhi ketika partai-partai politik Islam justru absen dari negara (Munawir Sjadzali, MuslimsÆ Interests are Better Served in the Absence of Muslim Parties. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992).
Reaktualisasi al-Quran atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya berangkat dari asumsi, bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu diturunkan empat belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan, masih relevankah al-Quran atau ajaran Islam digunakan untuk saat ini? Mereka yang mengusung gagasan reaktualisasi memandang bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu sudah usang dan tidak relevan lagi, kecuali jika yang usang dan tidak relevan tersebut diaktualkan kembali sehingga cocok untuk kondisi kekinian dan kedisinian.
Selain reaktualisasi, istilah lain yang sering mereka gunakan adalah revitalisasi atau menyegarkan kembali pemahaman Islam. Semua itu intinya sama. Dengan kata lain, istilah Reaktualisasi al-Quran, Reaktualisasi atau Revitalisasi Ajaran Islam atau Menyegarkan Kembali Islam adalah istilah yang manis di bibir, tetapi hakikatnya busuk. Meminjam istilah hadis, ini seperti buah Raihanah, yang baunya harum semerbak, tetapi isinya busuk; siapapun yang memetiknya, pasti tertipu. Sebab, gagasan ini sebenarnya lahir bukan dari orang yang mengimani al-Quran dan ajaran Islam sebagai risalah yang layak diterapkan sepanjang zaman. Contoh kongkretnya, mereka menyerang hudûd, qishâsh dan sejumlah hukum dalam al-Quran (seperti potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, qishâsh untuk pembunuh, pemukulan suami kepada istri sebagai proses pendidikan (ta’dib), jihad, dan sistem pemerintahan Islam) yang jelas-jelas dinyatakan dalam al-Quran. Mereka mengatakan, ajaran al-Quran ini harus direaktualisasi dalam konteks kekinian sehingga tidak lagi bisa diambil secara harfiah.
Sebenarnya kata "reaktualisasi" telah dikenal cukup lama, paling tidak dikalangan ilmuwan. Tetapi ia menjadi sangat popular bahkan di kalangan para pelajar pemula sekalipun, setelah Pak Munawir melontarkan ide-idenya yang menghentakkan banyak pihak yang selama ini terlena. Sedemikian keras hentakkannya itu, sampai-sampai ada yang mengkafirkan pencetusnya, sebelum mendalami masalah yang diungkapkan.
B.1. REAKTUALISASI DAN IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB
Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.
Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).
Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.
Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.
Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.
Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).
Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.
Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, sebagai berikut:
Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.
Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.
Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.
Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):
`Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka."
'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."
Orang banyak: "Bermusyawarahlah"
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."
'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."
Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."
Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."
Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."
Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."
B.2. Argumentasi Munawir Sjadzali terhadap Reaktualisasi Hukum Islam.
Ide reaktualisasi hukum Islam yang dilontarkan oleh Munawir ini didasari juga dengan pemahamannya terhadap beberapa pendapat mufassir, di antaranya:
- Ibn Katsir; menyatatakan, "Sesungguhnya, menurut nalar tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah. (tafsir Ibn Katsir, juz 1 h. 151).
- Ahmad Mustafa al- Maraghi: Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir. ( Tafsir al- Maraghi, juz 1, h. 187).
- Muhammad Rasyid Ridla; Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan siatuasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkan hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu belakangan itu. (Tafsir al- Manar, juz 1, halaman 414).
- Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al- Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al- Aqsha ke Masjid al- Haram, mapun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang. (Tafsir Fi Zilali al- Quran, juz 1 h. 101-102).
Ahli hukum ke empat mazhab sepakat bahwa, hukum Islam terbagi kepada dua kategori, yaitu hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut mu'amalah duniawiah (kemasyarakatan). Dalam hukum pada kategori pertama tidak banyak kesempatan untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hukum kategori kedua lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolak ukur utama.
Mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan Izz al- Din Abd al- Salam (seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi'i), menyatakan bahwa semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang bermaksiat.
Ibnu al- Qayyim al- Jauziyah, (ulama fikih Hanafiyah), mengatakan, bahwa perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat. Ya'kub Ibn Ibrahim Ibn Habib al- Anshari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Yusuf, berpendirian bahwa nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash itu.
Formula 2:1 dalam kewarisan, Munawir menjelaskan bahwa diantara argument klasik yang dihadapkan kepada saya bahwa formula anak laki-laki berhak menerima dua kali bagian perempuan itu tercantum dalam ayat al- Quran, nash sharih dan yang tidak boleh diubah. Dalam menanggapi argument tersebut, dengan perasaan berat saya ingin mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Dalam al- Quran terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternative bagi kebutuhan biologis kaum pria disamping istri. Memang Nabi Muhammad SAW dahulu selalu menghimbau para pemilik budak untuk berlaku blebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tetapi yang jelas, sampai Nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun Islam belum secara tuntas mengahpuskan perbudakan.
Kita sekarang hidup pada akhir abad XX, dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan, dalam segala manifestasinya, sebagai musuh kemanusiaan. Apa kata dunia terhadap Islam kalau sekarang ini, berdasarkan empat ayat tersebut sebagai nash sharih dan dalil qhat'I, kita masih akan mempertahankan status quo sikap Islam terhadap perbudakan pada zaman Nabi itu. Lebih dari itu, kalau kita mempertahankan keabsahan ayat-ayat tersebut, tetap berdiri pada status quo Nabi dan tidak berani menyelesaikan proses yang telah dirintis oleh Nabi itu, kita tidak dapat ikut berbicara tentang hak asasi manusia, sebab hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup sebagai manusia merdeka, sedangkan menurut dalil qhat'I itu perbudakan masih dibenarkan oleh Islam.
Sebagai pembelaan atas kenyataan bahwa sampai Nabi wafat, Islam belum menghapus perbudakan secara tuntas, di antara kita ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena Nabi masih khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu kalau dengan tegas beliau mengikis perbudakan. Kalau pemikiran itu kita terima, maka kita dapat bertanya, kalau dalam hal yang demikian mendasar seperti perbudakan, Nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, apakah sebagai umat Muhammad kita seharusnya belajar dari kebijakan panutan agung kita itu?
C. BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MUNAWIR SJADZALI
Mengingat dalam berbagai kesempatan Munawir selalu menawarkan ide reaktualisasinya dengan memakai argument dari pendapat al- Thufi dengan konsep maslahahnya dan Abu Yusuf dengan pandangannya tentang tradisi (adat istiadat, al- 'Urf wal 'adah), maka penulis akan memulai kritikan terhadap pendapat Munawir ini dengan memulai pembahasan dengan mengkaji pendapat al- Thufi dan Abu Yusuf.
C.1. Al-Thufi dengan Teori Maslahah.
Munawir mengutip pendapat al- Thufi dengan menyatakan bahwa al- Mashlahah lebih didahulukan dari nash dan ijma'. Pandangan ini nampaknya bertitik tolak dari konsep maqashid al- Tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyari'atkan untuk diwujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.
Al- Thufi membangun pendapatnya atas empat asas, yakni :
A. استقلال العقول بادراك المصالح و المفا سد
Pendapat al- Thufi akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi dasar bangunannya yang pertama dalam piramida pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, ia membatasi kemandirian akal itu dalam hal mu'amalah dan adapt istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan pada petunjuk nash baik dan buruk pada kedua bidang itu.
B. المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص
Sebagai kelanjutan pendapatnya yang pertama di atas, ia berpendapat bahwa maslahah itu merupakan dalil syar'I mandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada akal semata. Bagi al- Thufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atas dasar adapt istiadat dan percobaan/ eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
C. مجال العمل بالمصلحة هو المعاملات والعادات دون العبادات
Bagi al- Thufi, mashlahah diambil sebagai dalil syar'I hanya dalam bidang mu'amalah (hubungan social) dan adapt istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah ibadat dan muqaddarat, maslahah tidak dapat dijadikan dalil. Dalam kedua hal ini nash dan ijma'lah yang harus diikuti. Pembedaan ini terjadi karena dimata al- Thufi ibadah merupakan hak yang khusus bagi Syari', karenanya tidak mungkin mengetahui hak-Nya, baik dalam jumlah, cara, waktu maupuntempatnya kecuali atas penjelasan resmi yang datang dari sisinya. Sedangkan mu'amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Atas dasar ini dalam hal ibadat Allah lebih mengetahui akan hak-Nya, dan karenanya kita wajib mengikuti nash dalam bidang ini. Mengenai mu'amalah, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya, mereka harus berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash.
D. المصلحة اقوى ادلة الشرع
Bagi al- Thufi, secara mutlak, maslahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Baginya, maslahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata ketika tidak datang nash dan ijma' disaat terjadi pertentangan antara keduanya. Yang perlu ditegaskan di sini, pengutamaan maslahah saat nash dan ijma' tersebut ia lakukan dengan jalan bayan dan takhsis; bukan dengan jalan mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas al-Quran dengan jalan bayan. Hal demikian ia lakukan karena dalam pandangannya, maslahah itu diambil dan bersumber dari sabda Nabi SAW :
حدثني يحيى عن مالك عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :لا ضرر ولا ضرار

"tidak memudaharatkan dan tidak dimudharatkan".
Pengutamaan dan mendahulukan mashlahah atas nash ini ditempuh baik nash itu qhat'I dalam sanad dan matannya ataupun zhanni keduanya.
Apabila dicermati penjelasan al- Thufi dengan keempat asas di atas, maka dapat penulis cermati bahwa al- Thufi sebenarnya bermain dalam tataran ushul fikih, ia mengandaikan terjadinya bentrokan antara nash atau ijma' di satu sisi dengan maslahah di sisi lain. Persoalannya, benarkah telah terjadi bentrokan yang ia maksudkan itu. Sampai saat ini al- Thufi belum mengungkapkan satu pun contoh pertentangan antara maslahah dengan nash atau ijma'.
Harus pula dipahami bahwa kecendrungan teologis yang dianut al- Thufi dan yang sepaham dengannya dan yang sepaham dengannya dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Menurutnya akal mempunyai kekuatan dan kemandirian dalam memilih dan menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa maslahah adalah dalil syari' yang mandiri yang terlepas dari nash. Dengan meminjam trend baru kajian ushul fikih yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, maka akan terasa suatu keanehan. Bagaimana mungkin al-Thufi yang dianggap sebagai pengikut mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, dalam ilmu kalam sejalan dengan mu'tazilah. Mungkin penulis keliru, tetapi setidak-tidaknya sangat terasa atmosfir keanehan tersebut.
Harus pula ditegaskan bahwa maslahah yang dimaksud al-Thufi bukanlah maslahah yang dimaksud oleh Imam Malik. Imam Malik menggunakan teori maslahah al- mursalah yang meskipun maslahah tersebut tidak terdapat dalam nash tertentu tetapi sejalan dengan semangat (ruh) nash secara keseluruhan. Ini berbeda dengan al- thufi yang melepaskan ketergantungan maslahah pada nash. Maslahah yang dimaksud oleh al- Thfi hanya berujung pada akal semata.
Al- Thufi memandang bahwa nash mengalami pertentangan. Pernyataan yang "berbahaya" ini perlu diluruskan, karena penulis yakin bahwa al- Thufi tidak bermaksud menyatakan bahwa ayat al- Quran itu saling bertentangan satu sama lainnya. Mungkin yang dimaksud oleh al- Thufi, bahwa ada ayat sepertinya bertentangan secara lahirnya tetapi pada hakikatnya tidak bertentangan.
Berbicara tentang maslahah, menurut penulis maslahah tersebut bersifat relatif, misalnya seseorang merampas suatu benda. Menurut hukum qhat'I, benda tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Jika hilang, ia wajib menggantinya. Persoalannya, berapakah ia harus mengganti benda yang hilang tersebut?. Sebagian ulama berpendapat, ia wajib menggantinya menurut harga pasar pada hari terjadi perampasan. Sebagian ulama yang lain berpendapat, ia wajib menggantinya menurut harga waktu ia menggantinya. Ulama lain berpendapat, diganti dengan harga tertinggi dari kedua harga tersebut.
Pada kasus ini semua ulama ingin mencari kemaslahatan untuk kedua belah pihak. Namun rasa maslahah sebagaimana rasa keadilan bergeser dan tergantung pada si pemilik rasa itu sendiri.
Hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut, apakah suatu nash yang berasal dari Allah dan untuk kita semua tidak mengandung nilai dan memuat rasa maslahah? Menurut Penulis setiap nash yang diturunkan oleh Allah pasti memuat nilai maslahah.
Demikian pula halnya dengan masalah kewarisan dalam reaktualisasi Munawir, bahwa 1;1 adalah maslahah. Pertanyaannya, apakah 2;1 tidak mengandung maslahah? Menurut penulis, hukum Allah tentang kewarisan 2;1 pasti untuk kemaslahatan manusia.
E. KESIMPULAN.
Reaktualisasi hukum Islam sangat diperlukan dalam rangka mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia.
"Reaktualisasi Munawir" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang dijadikan dasar "reaktualisasi Munawir" adalah kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan yang lepas dari nash, bukan kemaslahatan yang dimaksud oleh Imam Malik dengan konsep maslahah al- mursalah yang tidak terlepas dari nash.